Minggu, 16 Juni 2019

Menuju Tegal Bebas Sampah

  





"Tegal Darurat Sampah." Demikian ujar Bupati Tegal, Umi Azizah saat acara "Kabar Bupatiku" di Kantor DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kabupaten Tegal, yang disiarkan secara langsung oleh radio Slawi FM pada bulan Januari 2019.

Dan hingga kini, masih banyak tumpukan sampah tak terangkut di sana-sini. Media sosial seperti group FB Sisi Lain Kabupaten Tegal sering memberitakan keluhan warga tentang tumpukan sampah di tempat yang tak semestinya seperti di sungai, tanggul dan bantaran sungai, badan jalan, pekarangan, hingga TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang sampahnya menggunung, meluber melebihi daya tampungnya.

Belum lagi, sampah organik yang mengendap lama, membuat aroma tak sedap sering mengganggu sekitar. Masih teringat kejadian bulan November 2018, saat warga pedukuhan Karangjongkeng Kelurahan Pakembaran, Slawi akhirnya menutup jalan menuju TPS yang terletak di belakang GOR Trisanja Slawi. Warga terusik dengan bau tak sedap dari sampah di TPS itu, yang menyeruak ke pemukiman saat musim hujan. 

Bagaimana mungkin semua sampah di Kabupaten Tegal akan terangkut ke TPS dan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), jika armada pengangkutan sampah selalu kurang? DLH Kabupaten Tegal kini hanya mempunyai 20 dump truck dan 4 truck amrol dengan 24 orang supir dinas pagi dan 7 supir dinas shift sore. Tahun 2019 ini, rencananya DLH akan ada menambah 6 truk lagi, sehingga total akan ada 30 truk sampah. Sementara, gerobak sampah yang dimiliki DLH untuk mengambil sampah langsung dari rumah tangga belum bisa menjangkau semua rumah yang ada di Kabupaten Tegal. Itulah sebabnya, masyarakat dan pemerintah desa membantu mengkoordinir pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS menggunakan gerobak secara swadaya.

Namun, perlu dipahami, bahwa sebanyak apapun armada pengangkut sampah yang ada tak akan menyelesaikan masalah sampah ini. Distribusi sampah, hanya memindahkan masalah dari rumah tangga ke TPS atau TPA. Mungkin tumpukan sampah akan hilang di rumah tangga, namun masalah besar akan timbul di TPA. Karena bagaimanapun, TPA memiliki batas daya tampung, apalagi jika semua sampah dari rumah tangga harus dibuang ke TPA, tanpa kecuali, pasti akan overload (kelebihan beban). Dan pasti akan terjadi "ledakan masalah" di TPA yang overload tersebut saat nanti menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan atau gangguan kenyamanan warga. Penambahan dan operasional armada sampah serta perluasan area TPA tentunya membutuhkan biaya tinggi, belum lagi menghadapi penolakan masyarakat sekitar terhadap rencana pembagunan TPA.

Seperti yang pernah terjadi di Jepang. Pemerintah Tokyo harus mereklamasi Teluk Tokyo untuk menambah luas areal TPA-nya. Awalnya Jepang mengangkut semua sampah dari rumah tangga ke TPA, akhirnya pada tahun 1971 warga Kota Koto memprotes dan memblokir jalan yang dilewati truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo, yang menuju ke TPA di daerah tersebut. Sejak saat itu pemerintah Tokyo serius melakukan tata kelola sampah terpadu, dan sangat gencar mempromosikan kesadaran masyarakat untuk membantu mengurangi dan memilah sampah. Saat ini Jepang berhasil mengurangi sampah hingga hanya 10% saja sampah rumah tangga yang terbuang ke TPA.

Di Jepang, pengelolaan sampah sudah terpadu bahkan spesifik. Artinya, semua sampah dari rumah tangga dapat dikelola. Bahkan disana tidak hanya organik dan non-organik saja, namun ada pengelolaan sampah secara spesifik, seperti sampah ukuran besar contohnya lemari, ranjang, logam. Ada juga pengelolaan sampah berbahan keras seperti keramik, sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Kesemuanya, tentunya membutuhkan dana besar dan manajemen yang baik. 

Pemecahan masalah sampah ini sebenarnya ada di tahap pengelolaan sampah sebelum masuk ke TPA dan adanya perubahan perilaku masyarakat dalam melakukan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Reduce adalah mengurangi sampah hasil rumah tangga. Sedikit mungkin rumah tangga menghasilkan sampah dengan perilaku-perilaku meminimalisir sampah produk rumah tangga. Seperti lebih sering menggunakan sapu tangan/ lap daripada tisu. Reuse adalah menggunakan kembali barang yang sebenarnya masih bisa dipakai seperti tas dan kantong plastik. Recylce adalah tindakan mendaur ulang sampah. Recylce bisa dilakukan sendiri atau pihak lain, seperti kreativitas membuat kerajinan dari sampah, mengolah sampah menjadi bentuk lain yang bisa dipakai, atau diserahkan ke perusahaan daur ulang sampah. 

Di Indonesia, belum banyak tersedia fasilitas tata kelola sampah sebelum sampah sampai ke TPA. Idealnya proses itu terjadi di antara TPS dan TPA. Mengapa disebut Tempat Penampungan Sementara? Karena disitulah seharusnya terjadi penampungan sementara sampah untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut. Sampah organik bisa dijadikan kompos untuk pertanian, budidaya magoot BSF untuk peternakan, dan atau tata kelola sampah organik yang lain. Sampah non organik bisa diolah menjadi kerajinan sampah, dan daur ulang. Dan idealnya, tempat pengelolaan sampah tersebut bersifat terpadu. Artinya, siap menampung dan mengelola semua jenis sampah apapun dari rumah tangga, tanpa kecuali .

Seperti Kota Surabaya, yang pengelolaan sampahnya sudah dikenal terbaik dan menjadi role model bagi negara-negara lain. Surabaya memiliki beberapa depo sampah yang menampung sampah dari rumah warganya. Di depo sampah ini terjadi proses pemilahan sampah organik dan non organik. Surabaya juga memiliki puluhan rumah kompos yang siap memroses sampah organik menjadi kompos.

Jika melihat contoh negara atau kota yang sudah berhasil mengelola sampahnya seperti diatas, timbul pertanyaan, apakah cukup sumber daya di Kabupaten Tegal untuk mewujudkannya? Tentunya, bukan dalam jangka waktu dekat. Lantas, apakah kita hanya akan menunggu saja? Atau, adakah tindakan yang perlu dilakukan untuk masalah yang sudah disebut "darurat" ini?

Di Kabupaten Tegal, DLH mendata ada sekitar 200 bank sampah yang telah berdiri. Namun secara pasti belum terdata lagi berapa jumlah yang terus aktif sampai kini. Dari keseluruhan bank sampah tersebut belum ada satupun yang siap melayani semua jenis sampah dari rumah tangga secara terpadu.

Keberadaan Bank Sampah di Kabupaten Tegal memegang peranan penting sebagai tata kelola sampah di unit kecil masyarakat. Tingkat kecamatan, tingkat desa atau bahkan bisa lebih kecil lagi. Bank sampah ini siap menampung sampah dari warga lalu deposito-nya yang terkumpul bisa dicairkan nasabahnya suatu saat. Sampah yang masuk ke Bank Sampah ini bisa berupa sampah kompos maupun sampah non organik. Dari Bank Sampah ini sampah non organik bisa dikelola untuk daur ulang (rongsok) atau kerajian sampah.  Sisanya, sampah yang sama sekali tidak bisa digunakan atau residu, dibuang ke TPA.

Berbagai komunitas atau individu pegiat sampah, dan lingkungan hidup terus bergerak di berbagai daerah termasuk di Kabupaten Tegal. Gerakan peduli sampah ini sudah tidak bisa dibendung lagi, karena hak dan keinginan kuat untuk menyelesaikan masalah ini yang sudah merupakan sebuah ancaman kesehatan lingkungan dan masyarakat.

Seperti yang dilakukan sebuah komunitas literasi "Tegal Membaca" belum lama ini. Sekitar 36 TBM (Taman Baca Masyarakat) yang tergabung di komunitas ini kemarin hari Minggu (16/6) mengadakan sarasehan dan halal bi halal di Lapangan Kobaktama desa Pasangan, dengan tema "Menuju tegal bebas sampah, sampah masalah dan rupiah."

TBM. Ar-Rosyad desa Pasangan, yang menjadi tuan rumah dan panitia acara itu sengaja mendatangkan narasumber Ahmad Budi Hermanto, ketua ASOBSI (Asosiasi Bank Sampah) Kabupaten Tegal dan Edi Sulistiyanto, ketua Karang Taruna Kabupaten Tegal. Dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai pegiat lingkungan, karang taruna, perangkat desa, organisasi profesi kesehatan lingkungan, komunitas pendaki gunung, pegiat literasi dan relawan peduli pendidikan.

Dalam sarasehan tersebut membahas langkah nyata apa yang bisa dilakukan untuk menuju Tegal Bebas Sampah. Bupati Umi Azizah sendiri mencanangkan Tegal Bebas Sampah di tahun 2025, tentunya visi ini bukanlah hanya menjadi visi individu bupati sendiri, namun menjadi visi bersama seluruh masyarakat Kabupaten Tegal. Maka, masyarakat hendaknya kita bukan hanya menunggu apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap visi itu. Masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi mempromosikan peduli sampah, mengkampanyekan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Dan tentunya, membantu mewujudkan tata kelola sampah terpadu di unit kecil masyarakat itu. Bisa berupa Bank Sampah atau depo sampah terpadu. Dibutuhkan local hero sebagai inovator yang berani dan mampu mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAUNCHING KABUPATEN TEGAL TERSENYUM, PROGRAM PENANGANAN LIMBAH MINYAK JELANTAH MELALUI SEDEKAH PERTAMA DI JAWA TENGAH

Selasa (23/2/21) Rumah Sosial Kutub berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal telah melaksanakan Launching Tegal Tersenyum di Desa Uju...