Kamis, 27 Juni 2019

Curhatan si pembuang sampah

Aku tak sepenuhnya bersalah. Kalian marah, aku tahu. Namun ini semua karena keadaan yang membuatku melakukannya. Aku terpaksa. Kuakui, akulah pembuang sampah yang kau resahkan. Yang kau eluhkan di media sosial. Yang kau cari tp selalu menjadi misteri. Akulah orangnya yang selalu kau caci. 

Akulah orang yang sengaja mengendap-endap di malam hari membawa kantung kresek dilempar ke pinggir kali. Aku tau kamu kecewa. Aku tahu kepala desamu juga murka karna dituntut bertanggung jawab atas sampah yang aku buang di desamu.


Tapi kemana harus kubuang sampah ini? Aku bingung sendiri. Kadang ingin kubuang di sungai, namun plastik ini tidak akan terurai. Hanya akan terbawa dan menumpuk di akhir pantai sana. Aku pun tak tega. Mengganggu tempat hidup aneka hayati di lautan. Bisa juga menyumbat dan akan meluapkan sungai, mengakibatkan banjir. 

Kadang ingin kubakar, tapi tak diperbolehkan. Katanya akan mencemari udara, membuat batuk. Dan sampah organikku ini tidak akan bisa semuanya terbakar.

Ingin kubuang ke TPS pasar, namun aku malu mengangkutnya kesana. Karna itu bukan untuk sampah rumah tangga melainkan sampah dari tempat umum, pasar.

Mau kubuang di bantaran sungai, tapi hanya membuat sungai bertambah sempit, tak akan ada yang mengambilnya. Entah sampai kapan menghiasi tepi sungai. 

Mau kupendam dalam tanah, aku sudah tak punya tanah. Lahanku juga sempit. Semua teras dan tempat terbuka di rumahku sudah berpaving, berplester. Dan tanah pun tak bisa cepat mengurai plastik ini.

Aku bingung sendiri, dilema, serba salah. Rumahku memproduksi sampah 2 kantong plastik besar setiap harinya. Sisa makanan dan sampah produk rumah tangga. Tak ada armada yang dikoordinir desa setempat. Aku capek setiap hari harus berpikir mencari tempat untuk melenyapkan barang yang tak lagi berguna di mataku. Maka aku kadang membuangnya sambil berangkat kerja atau pulang kerja.

Belum lagi, kadang sampahku berukuran besar, bantal, kasur, lemari, wastafel keramik yang berbahan keras, cairan berbahaya, logam keras yang sudah tidak bisa kupakai, ban bekas yang sudah menipis. Mau kukemanakan sampah ini? siapa yang harus menyediakan tempat untuk membuangnya?

Mau kubuang di TPS desa sebelah, diomelin. Katanya, itu khusus buat warga desa sebelah dan mereka berbayar untuk distribusinya. Mau kubuang di TPS yang jauh disana, yang agak besar, namun harus antri dengan puluhan tossa dari berbagai desa. Karena katanya, disana tidak diterapkan sampah menumpuk, langsung angkut ke dump truck. Ah, bisa-bisa aku pulang dini hari jika harus mengantri dengan armada-armada itu.

Mau ke bank sampah di kecamatan sebelah, tapi mereka hanya menerima sampah non organik yang layak pakai untuk kerajinan saja. Itupun aku harus memilah, dan mencucinya terlebih dahulu sampai bersih. Mana sempat? Dan jika bank sampah hanya menerima yang layak daur ulang menjadi kerajinan, bagaimana dengan sampah lainnya ini? Belum ada bank sampah yang terpadu. Apalagi di desaku, aku pesimis itu bakal terwujud. Siapa yang akan mengelolanya?

Mau buat lubang biopori, tapi sudah tidak ada tanah dirumahku. Lagian repot, harus menggali tanah dalam-dalam. Mau bikin kompos dirumah, ribetnya luar biasa dan tidak akan sempat aku melakukannya. Lagian, aku bukan tipe orang yang suka bercocok tanam. Untuk apa juga membuat kompos.

Aku hanya ingin sampah ini pergi dari rumahku. Itu saja, titik.

Lalu aku harus bagaimana? Siapa yang bisa hadir menjadi mister solution untuk masalah ini? Entahlah. Aku tahu ini dosa. Aku terlalu sibuk dengan rengekan anakku yang minta mainan. Waktuku terlalu sempit untuk menyelesaikan kerjaan kantor yang seabreg. Tolong lah, siapapun yang bisa selesaikan ini. Aku tahu kalian risau dengan bau busuk sampahku yang berserakan. Aku tahu kalian sesak mata dengan gunungan sampahku beserta lalat hijau yang menari di atasnya. Tapi aku tak punya pilihan. Mungkin hanya TPA penujah yang akan menerimaku dengan ikhlas, tanpa memberi rasa bersalah, tapi jauh! Tidak mungkin aku kesana setiap hari.

Tidak ada pilihan lain. Maka kuputuskan, membuangnya di tanah yang sepi dan relatif jauh dari orang, bantaran sungai, tanggul. Bagiku, tempat-tempat itu sudah yang paling aman bagi lingkungan, dibandingkan tempat yang lain. Maaf, aku mencoba memilih melakukan dosa yang paling kecil diantara pilihan dosa-dosa besar! Aku pasrahkan kepada kalian saja. Siapapun yang punya waktu, punya kekuatan, punya peduli. Silahkan atasi. Aku menyerah. Aku lemah. Aku tahu kalian punya kekuatan, punya waktu, punya uang, punya daya untuk mengatasi sampahku itu. 

Aku tak sanggup lagi berpikir, apalagi harus tekun mengelola sampahku sendiri. Aku hanya berdoa semoga Tuhan membuat kalian berdaya. Aku hanya ingin di depan rumahku ada petugas yang mengambil sampah-sampahku setiap hari. Aku rela membayarnya 20 ribu per bulan, atau berapapun. Aku ikhlas. Aku tak peduli mau kalian apakan sampahku itu selanjutnya, itu terserah kalian dan bukan tugasku memikirkannya. Aku tahu tumpukan sampah akan menjadi masalah besar nantinya dan mungkin aku dan keluargaku sendiri bisa terkena imbas darinya. Ah, namun itu jangka panjang. Maaf, aku tak sanggup berpikir sepanjang itu.

Maaf... sekali lagi maaf.


Ditulis oleh: BJM
Jenis tulisan: catatan hati, fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAUNCHING KABUPATEN TEGAL TERSENYUM, PROGRAM PENANGANAN LIMBAH MINYAK JELANTAH MELALUI SEDEKAH PERTAMA DI JAWA TENGAH

Selasa (23/2/21) Rumah Sosial Kutub berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal telah melaksanakan Launching Tegal Tersenyum di Desa Uju...