Kamis, 27 Juni 2019

Curhatan si pembuang sampah

Aku tak sepenuhnya bersalah. Kalian marah, aku tahu. Namun ini semua karena keadaan yang membuatku melakukannya. Aku terpaksa. Kuakui, akulah pembuang sampah yang kau resahkan. Yang kau eluhkan di media sosial. Yang kau cari tp selalu menjadi misteri. Akulah orangnya yang selalu kau caci. 

Akulah orang yang sengaja mengendap-endap di malam hari membawa kantung kresek dilempar ke pinggir kali. Aku tau kamu kecewa. Aku tahu kepala desamu juga murka karna dituntut bertanggung jawab atas sampah yang aku buang di desamu.


Tapi kemana harus kubuang sampah ini? Aku bingung sendiri. Kadang ingin kubuang di sungai, namun plastik ini tidak akan terurai. Hanya akan terbawa dan menumpuk di akhir pantai sana. Aku pun tak tega. Mengganggu tempat hidup aneka hayati di lautan. Bisa juga menyumbat dan akan meluapkan sungai, mengakibatkan banjir. 

Kadang ingin kubakar, tapi tak diperbolehkan. Katanya akan mencemari udara, membuat batuk. Dan sampah organikku ini tidak akan bisa semuanya terbakar.

Ingin kubuang ke TPS pasar, namun aku malu mengangkutnya kesana. Karna itu bukan untuk sampah rumah tangga melainkan sampah dari tempat umum, pasar.

Mau kubuang di bantaran sungai, tapi hanya membuat sungai bertambah sempit, tak akan ada yang mengambilnya. Entah sampai kapan menghiasi tepi sungai. 

Mau kupendam dalam tanah, aku sudah tak punya tanah. Lahanku juga sempit. Semua teras dan tempat terbuka di rumahku sudah berpaving, berplester. Dan tanah pun tak bisa cepat mengurai plastik ini.

Aku bingung sendiri, dilema, serba salah. Rumahku memproduksi sampah 2 kantong plastik besar setiap harinya. Sisa makanan dan sampah produk rumah tangga. Tak ada armada yang dikoordinir desa setempat. Aku capek setiap hari harus berpikir mencari tempat untuk melenyapkan barang yang tak lagi berguna di mataku. Maka aku kadang membuangnya sambil berangkat kerja atau pulang kerja.

Belum lagi, kadang sampahku berukuran besar, bantal, kasur, lemari, wastafel keramik yang berbahan keras, cairan berbahaya, logam keras yang sudah tidak bisa kupakai, ban bekas yang sudah menipis. Mau kukemanakan sampah ini? siapa yang harus menyediakan tempat untuk membuangnya?

Mau kubuang di TPS desa sebelah, diomelin. Katanya, itu khusus buat warga desa sebelah dan mereka berbayar untuk distribusinya. Mau kubuang di TPS yang jauh disana, yang agak besar, namun harus antri dengan puluhan tossa dari berbagai desa. Karena katanya, disana tidak diterapkan sampah menumpuk, langsung angkut ke dump truck. Ah, bisa-bisa aku pulang dini hari jika harus mengantri dengan armada-armada itu.

Mau ke bank sampah di kecamatan sebelah, tapi mereka hanya menerima sampah non organik yang layak pakai untuk kerajinan saja. Itupun aku harus memilah, dan mencucinya terlebih dahulu sampai bersih. Mana sempat? Dan jika bank sampah hanya menerima yang layak daur ulang menjadi kerajinan, bagaimana dengan sampah lainnya ini? Belum ada bank sampah yang terpadu. Apalagi di desaku, aku pesimis itu bakal terwujud. Siapa yang akan mengelolanya?

Mau buat lubang biopori, tapi sudah tidak ada tanah dirumahku. Lagian repot, harus menggali tanah dalam-dalam. Mau bikin kompos dirumah, ribetnya luar biasa dan tidak akan sempat aku melakukannya. Lagian, aku bukan tipe orang yang suka bercocok tanam. Untuk apa juga membuat kompos.

Aku hanya ingin sampah ini pergi dari rumahku. Itu saja, titik.

Lalu aku harus bagaimana? Siapa yang bisa hadir menjadi mister solution untuk masalah ini? Entahlah. Aku tahu ini dosa. Aku terlalu sibuk dengan rengekan anakku yang minta mainan. Waktuku terlalu sempit untuk menyelesaikan kerjaan kantor yang seabreg. Tolong lah, siapapun yang bisa selesaikan ini. Aku tahu kalian risau dengan bau busuk sampahku yang berserakan. Aku tahu kalian sesak mata dengan gunungan sampahku beserta lalat hijau yang menari di atasnya. Tapi aku tak punya pilihan. Mungkin hanya TPA penujah yang akan menerimaku dengan ikhlas, tanpa memberi rasa bersalah, tapi jauh! Tidak mungkin aku kesana setiap hari.

Tidak ada pilihan lain. Maka kuputuskan, membuangnya di tanah yang sepi dan relatif jauh dari orang, bantaran sungai, tanggul. Bagiku, tempat-tempat itu sudah yang paling aman bagi lingkungan, dibandingkan tempat yang lain. Maaf, aku mencoba memilih melakukan dosa yang paling kecil diantara pilihan dosa-dosa besar! Aku pasrahkan kepada kalian saja. Siapapun yang punya waktu, punya kekuatan, punya peduli. Silahkan atasi. Aku menyerah. Aku lemah. Aku tahu kalian punya kekuatan, punya waktu, punya uang, punya daya untuk mengatasi sampahku itu. 

Aku tak sanggup lagi berpikir, apalagi harus tekun mengelola sampahku sendiri. Aku hanya berdoa semoga Tuhan membuat kalian berdaya. Aku hanya ingin di depan rumahku ada petugas yang mengambil sampah-sampahku setiap hari. Aku rela membayarnya 20 ribu per bulan, atau berapapun. Aku ikhlas. Aku tak peduli mau kalian apakan sampahku itu selanjutnya, itu terserah kalian dan bukan tugasku memikirkannya. Aku tahu tumpukan sampah akan menjadi masalah besar nantinya dan mungkin aku dan keluargaku sendiri bisa terkena imbas darinya. Ah, namun itu jangka panjang. Maaf, aku tak sanggup berpikir sepanjang itu.

Maaf... sekali lagi maaf.


Ditulis oleh: BJM
Jenis tulisan: catatan hati, fiksi

Minggu, 16 Juni 2019

Menuju Tegal Bebas Sampah

  





"Tegal Darurat Sampah." Demikian ujar Bupati Tegal, Umi Azizah saat acara "Kabar Bupatiku" di Kantor DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kabupaten Tegal, yang disiarkan secara langsung oleh radio Slawi FM pada bulan Januari 2019.

Dan hingga kini, masih banyak tumpukan sampah tak terangkut di sana-sini. Media sosial seperti group FB Sisi Lain Kabupaten Tegal sering memberitakan keluhan warga tentang tumpukan sampah di tempat yang tak semestinya seperti di sungai, tanggul dan bantaran sungai, badan jalan, pekarangan, hingga TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang sampahnya menggunung, meluber melebihi daya tampungnya.

Belum lagi, sampah organik yang mengendap lama, membuat aroma tak sedap sering mengganggu sekitar. Masih teringat kejadian bulan November 2018, saat warga pedukuhan Karangjongkeng Kelurahan Pakembaran, Slawi akhirnya menutup jalan menuju TPS yang terletak di belakang GOR Trisanja Slawi. Warga terusik dengan bau tak sedap dari sampah di TPS itu, yang menyeruak ke pemukiman saat musim hujan. 

Bagaimana mungkin semua sampah di Kabupaten Tegal akan terangkut ke TPS dan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), jika armada pengangkutan sampah selalu kurang? DLH Kabupaten Tegal kini hanya mempunyai 20 dump truck dan 4 truck amrol dengan 24 orang supir dinas pagi dan 7 supir dinas shift sore. Tahun 2019 ini, rencananya DLH akan ada menambah 6 truk lagi, sehingga total akan ada 30 truk sampah. Sementara, gerobak sampah yang dimiliki DLH untuk mengambil sampah langsung dari rumah tangga belum bisa menjangkau semua rumah yang ada di Kabupaten Tegal. Itulah sebabnya, masyarakat dan pemerintah desa membantu mengkoordinir pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS menggunakan gerobak secara swadaya.

Namun, perlu dipahami, bahwa sebanyak apapun armada pengangkut sampah yang ada tak akan menyelesaikan masalah sampah ini. Distribusi sampah, hanya memindahkan masalah dari rumah tangga ke TPS atau TPA. Mungkin tumpukan sampah akan hilang di rumah tangga, namun masalah besar akan timbul di TPA. Karena bagaimanapun, TPA memiliki batas daya tampung, apalagi jika semua sampah dari rumah tangga harus dibuang ke TPA, tanpa kecuali, pasti akan overload (kelebihan beban). Dan pasti akan terjadi "ledakan masalah" di TPA yang overload tersebut saat nanti menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan atau gangguan kenyamanan warga. Penambahan dan operasional armada sampah serta perluasan area TPA tentunya membutuhkan biaya tinggi, belum lagi menghadapi penolakan masyarakat sekitar terhadap rencana pembagunan TPA.

Seperti yang pernah terjadi di Jepang. Pemerintah Tokyo harus mereklamasi Teluk Tokyo untuk menambah luas areal TPA-nya. Awalnya Jepang mengangkut semua sampah dari rumah tangga ke TPA, akhirnya pada tahun 1971 warga Kota Koto memprotes dan memblokir jalan yang dilewati truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo, yang menuju ke TPA di daerah tersebut. Sejak saat itu pemerintah Tokyo serius melakukan tata kelola sampah terpadu, dan sangat gencar mempromosikan kesadaran masyarakat untuk membantu mengurangi dan memilah sampah. Saat ini Jepang berhasil mengurangi sampah hingga hanya 10% saja sampah rumah tangga yang terbuang ke TPA.

Di Jepang, pengelolaan sampah sudah terpadu bahkan spesifik. Artinya, semua sampah dari rumah tangga dapat dikelola. Bahkan disana tidak hanya organik dan non-organik saja, namun ada pengelolaan sampah secara spesifik, seperti sampah ukuran besar contohnya lemari, ranjang, logam. Ada juga pengelolaan sampah berbahan keras seperti keramik, sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Kesemuanya, tentunya membutuhkan dana besar dan manajemen yang baik. 

Pemecahan masalah sampah ini sebenarnya ada di tahap pengelolaan sampah sebelum masuk ke TPA dan adanya perubahan perilaku masyarakat dalam melakukan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Reduce adalah mengurangi sampah hasil rumah tangga. Sedikit mungkin rumah tangga menghasilkan sampah dengan perilaku-perilaku meminimalisir sampah produk rumah tangga. Seperti lebih sering menggunakan sapu tangan/ lap daripada tisu. Reuse adalah menggunakan kembali barang yang sebenarnya masih bisa dipakai seperti tas dan kantong plastik. Recylce adalah tindakan mendaur ulang sampah. Recylce bisa dilakukan sendiri atau pihak lain, seperti kreativitas membuat kerajinan dari sampah, mengolah sampah menjadi bentuk lain yang bisa dipakai, atau diserahkan ke perusahaan daur ulang sampah. 

Di Indonesia, belum banyak tersedia fasilitas tata kelola sampah sebelum sampah sampai ke TPA. Idealnya proses itu terjadi di antara TPS dan TPA. Mengapa disebut Tempat Penampungan Sementara? Karena disitulah seharusnya terjadi penampungan sementara sampah untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut. Sampah organik bisa dijadikan kompos untuk pertanian, budidaya magoot BSF untuk peternakan, dan atau tata kelola sampah organik yang lain. Sampah non organik bisa diolah menjadi kerajinan sampah, dan daur ulang. Dan idealnya, tempat pengelolaan sampah tersebut bersifat terpadu. Artinya, siap menampung dan mengelola semua jenis sampah apapun dari rumah tangga, tanpa kecuali .

Seperti Kota Surabaya, yang pengelolaan sampahnya sudah dikenal terbaik dan menjadi role model bagi negara-negara lain. Surabaya memiliki beberapa depo sampah yang menampung sampah dari rumah warganya. Di depo sampah ini terjadi proses pemilahan sampah organik dan non organik. Surabaya juga memiliki puluhan rumah kompos yang siap memroses sampah organik menjadi kompos.

Jika melihat contoh negara atau kota yang sudah berhasil mengelola sampahnya seperti diatas, timbul pertanyaan, apakah cukup sumber daya di Kabupaten Tegal untuk mewujudkannya? Tentunya, bukan dalam jangka waktu dekat. Lantas, apakah kita hanya akan menunggu saja? Atau, adakah tindakan yang perlu dilakukan untuk masalah yang sudah disebut "darurat" ini?

Di Kabupaten Tegal, DLH mendata ada sekitar 200 bank sampah yang telah berdiri. Namun secara pasti belum terdata lagi berapa jumlah yang terus aktif sampai kini. Dari keseluruhan bank sampah tersebut belum ada satupun yang siap melayani semua jenis sampah dari rumah tangga secara terpadu.

Keberadaan Bank Sampah di Kabupaten Tegal memegang peranan penting sebagai tata kelola sampah di unit kecil masyarakat. Tingkat kecamatan, tingkat desa atau bahkan bisa lebih kecil lagi. Bank sampah ini siap menampung sampah dari warga lalu deposito-nya yang terkumpul bisa dicairkan nasabahnya suatu saat. Sampah yang masuk ke Bank Sampah ini bisa berupa sampah kompos maupun sampah non organik. Dari Bank Sampah ini sampah non organik bisa dikelola untuk daur ulang (rongsok) atau kerajian sampah.  Sisanya, sampah yang sama sekali tidak bisa digunakan atau residu, dibuang ke TPA.

Berbagai komunitas atau individu pegiat sampah, dan lingkungan hidup terus bergerak di berbagai daerah termasuk di Kabupaten Tegal. Gerakan peduli sampah ini sudah tidak bisa dibendung lagi, karena hak dan keinginan kuat untuk menyelesaikan masalah ini yang sudah merupakan sebuah ancaman kesehatan lingkungan dan masyarakat.

Seperti yang dilakukan sebuah komunitas literasi "Tegal Membaca" belum lama ini. Sekitar 36 TBM (Taman Baca Masyarakat) yang tergabung di komunitas ini kemarin hari Minggu (16/6) mengadakan sarasehan dan halal bi halal di Lapangan Kobaktama desa Pasangan, dengan tema "Menuju tegal bebas sampah, sampah masalah dan rupiah."

TBM. Ar-Rosyad desa Pasangan, yang menjadi tuan rumah dan panitia acara itu sengaja mendatangkan narasumber Ahmad Budi Hermanto, ketua ASOBSI (Asosiasi Bank Sampah) Kabupaten Tegal dan Edi Sulistiyanto, ketua Karang Taruna Kabupaten Tegal. Dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai pegiat lingkungan, karang taruna, perangkat desa, organisasi profesi kesehatan lingkungan, komunitas pendaki gunung, pegiat literasi dan relawan peduli pendidikan.

Dalam sarasehan tersebut membahas langkah nyata apa yang bisa dilakukan untuk menuju Tegal Bebas Sampah. Bupati Umi Azizah sendiri mencanangkan Tegal Bebas Sampah di tahun 2025, tentunya visi ini bukanlah hanya menjadi visi individu bupati sendiri, namun menjadi visi bersama seluruh masyarakat Kabupaten Tegal. Maka, masyarakat hendaknya kita bukan hanya menunggu apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap visi itu. Masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi mempromosikan peduli sampah, mengkampanyekan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Dan tentunya, membantu mewujudkan tata kelola sampah terpadu di unit kecil masyarakat itu. Bisa berupa Bank Sampah atau depo sampah terpadu. Dibutuhkan local hero sebagai inovator yang berani dan mampu mewujudkannya.

Rabu, 12 Juni 2019

TPS Belakang Dinkes meluber

Hari pertama masuk kerja setelah lebaran. Seperti biasa, kami, karyawan Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal tidak ada apel pagi, digantikan dengan bersalaman. Berdiri memutar di teras halaman depan Dinkes, dan satu persatu orang yang datang menyalami. Bermaaf-maafan. Bulan Syawal dengan semangat kerja baru, dengan hati yang tulus meminta maaf dan memaafkan. Sudah tradisi.





Kegiatan itu dilanjutkan dengan sambutan Pak Hendadi, menggunakan wireless microphone. Dalam sambutannya Pak Hendadi kembali menyemangati karyawan Dinkes untuk kembali bekerja, dengan target, program yang sudah direncanakan. Penyerapan anggaran yang terus dipantau dan tentunya kebersamaan yang terus dipupuk sebagai energi untuk kerja bersama dalam satu atap, Dinas Kesehatan.

Namun sebelum menyampaikan sambutannya tadi, Pak Hendadi ditemani ketiga Kepala Bidang dan Bu Sekdin, yang tadinya sudah bersiap menempatkan diri di barisan sisi timur lingkaran staf yang memanjang itu, tiba-tiba berpindah tempat. 

"Agak maju lagi yuk. Ini ada bau sampah," ujarnya.

Ternyata bau itu dari TPS di belakang Dinas Kesehatan. Rupanya sama dengan yang terjadi di TPS lainnya. Membludak, overload. Cutinya petugas pengangkut sampah, dan karena aktivitas lebaran memproduksi lebih banyak sampah rumah tangga daripada hari biasanya. Akhirnya meluber, memanjang ke selatan hingga hampir 100 meter. Tak jarang menimbulkan bau, seperti yang terjadi di TPS belakang Dinkes yang baunya terasa sampai ke teras kantor itu.

Nampaknya DLH perlu kerja ekstra menyikapi sampah lebaran yang menambah kapasitas dan butuh ruang ini. Ya, masalah pengelolaan sampah ini masih berlanjut. Dan akan terus berlanjut selama masih belum ada tata kelola sampah dari tingkat unit kecil dulu seperti desa/dukuh/RW. 

Bayangkan, jika hanya misalnya, 10% saja sampah dari rumah tangga ini yang dibawa ke TPA, setelah sebelumnya mengalami proses pemilahan, penampungan, daur ulang, pengolahan, pemanfaatan, pasti ringan sekali beban pemerintah dalam mendistribusikan sampah sampai dengan ke TPA.

Pengurangan jumlah sampah ini sebenarnya harus diawali dari rumah tangga, yakni menerapkan 3R, Reduce, Reuse, Recycle. Mengurangi, menggunakan ulang dan mendaur ulang. Maka perlu mewujudkan keluarga peduli sampah. Bukan hanya pemerintah peduli sampah, aktivis peduli sampah, dinas peduli sampah, klinik peduli sampah, aparat peduli sampah.

Kamis, 06 Juni 2019

Sampah Lebaran

 



Musim lebaran nih, pasti sampah menumpuk. Aku bingung mau membuangnya kemana. Biasanya sih Mas Untung, karyawan klinikku sekalian membawa sampah rumah tanggaku. Aku coba mengemasnya. 4 kantong besar, dan sedikit berbau dari jenis sampah yang organik. Duh, mau bawa pake motor, tidak cukup kapasitasnya, akhirnya kuputuskan membawanya menggunakan mobil. Eh, anak istri minta ikut. Akhirnya, semprot pewangi sana-sini. Jendela kubuka. 

"Mau buang sampah dimana nih? Pesarean Singkil?" tanyaku.

"Perumahan Pacul aja," ujar istriku.

Oke lah. Sesampai depan KODIM Pagongan, aku belok kanan, masuk ke Jalan Projo Sumarto I. Melewati Desa Kaligayam, dan Kaladawa. Sampai akhirnya pertigaan kecil sebelum SMP 3 Talang, aku ambil arah kiri menuju perumahan Mutiara Dika, Pacul. 

Kulihat pintu TPS sebelum perumahan Mutiara Dika terbuka. Ada 4 orang sedang mengurai sampah. Aku berhenti dan membawa bungkusan sampahku. Permisi untuk menitipkan sampahku disitu. Dan, ternyata, tidak boleh.

"Ini khusus untuk perumahan Mutiara Dika dan berbayar. Mas kalo mau membuang disana aja, sebelah SMP 3 Talang." ujar salah satu bapak yang masih mengenakan helm, dari atas tumpukan sampah.

"Boleh pak? membuang disana?" tanyaku.

"Boleh memang, sudah ada peruntukannya. Nanti juga ada yang mengangkut ke TPA," jawabnya.

Akhirnya aku masukkan kembali sampahku ke mobil dan putar balik. Kita akan menuju ke lapangan sebelah SMP 3 Talang. Sebuah lapangan yang lebar. Badan jalan sisi timur memanjang, terisi gundukan sampah. Sebagian terlihat menghitam berarang di permukaannya, dicoba untuk dibakar. Namun tak mungkin bisa, karena itu berisi organik juga. Tumpukan sampah itu terus mencari lahan baru, melebar menjorok ke sisi timur.

Beberapa artikel di media massa telah meliput tempat sampah ini. Warga pun turut prihatin. Namun memang tidak adanya pemisahan dari awal rumah tangga, adalah pemicu rentetan masalah ini. TPS, tempat penampungan sementara, idealnya memang sebuah tempat transit sementara bagi sampah untuk selanjutnya dikelola secara spesifik. Yang organik menuju prosesi kompos/ pemanfaatan budidaya magoot. Yang sampah non-organik menuju ke daur ulang dan kerajinan. Bahkan di Jepang lebih spesifik lagi, ada pengolahan sendiri untuk sampah besar seperti lemari dan ranjang, sampah keramik, B3, bahan berbahaya dan beracun, serta residu. Hanya sampah residu inilah yang idealnya bisa terus menuju TPA, tempat pemrosesan akhir. Tentu akan sangat ringan beban TPA jika hanya, sebut kira-kira 10% saja sampah dari rumah kita yang menuju kesana.

Namun seperti kebanyakan kota yang lain, kita masih belum punya tempat pengolahan sampah antara TPS dan TPA. Yang akhirnya semua sampah bercampur dan harus diangkut ke TPA. Oh, tentunya beban berat akan tertumpuk di akhir sana. Ini hanya memindah masalah dari rumah tangga, desa ke TPA sana. Entah sampai kapan TPA Penujah akan bertahan menampung segala jenis sampah. Suatu saat pasti akan ada batas overload. 

Rasa penasaranku belum tuntas. Usai membuang sampahku disitu, aku terus melaju menyisir jalan Projo Sumarto I ini ke arah Pacul, Cangkring dan Wangandawa. Baru 200 meter berjalan ke tenggara, badan jalan sisi selatan memanjang tumpukan sampah. Luar biasa, hingga jalan pun agak menyempit disini. Lagi-lagi, tak ada pemisahan antara sampah organik dan non-organik, membuat kapasitasnya memakan ruang begitu besar. Aku turun sejenak untuk memandangnya, melebar, meluber. 

Aku menggumam sejenak. Seandainya saja dari rumah tangga sudah ada pemilahan sampah organik-non organik pun, tapi jika di TPS tidak ada perlakuan khusus yang membedakan keduanya, ya sama saja. Lalu di level mana harus ada pengelolaan itu? Aku terus berdiskusi dengan anak istriku dalam mobil, sembari memutar kembali roda mobilku ke arah Desa Wangandawa. Di sebuah jembatan kecil, lagi-lagi, kulihat onggokan sampah menyebar berkerumun memusat di tepi jembatan. Berkarung-karung. Tak terurus.

Ini baru satu jalan yang aku sisir, Projo Sumarto I. Belum di area lain yang belum sempat aku lihat. Uh, ngeri. Kayaknya memang perlu, pengelolaan itu ada dari level terkecil, desa atau dukuh atau bahkan RW. Menggunakan teknologi sederhana yang mudah, murah. Sehingga beban untuk menemukan solusi ini tidak hanya ada pada pemerintah dengan mewajibkan pemerintah menyediakan rumah kompos, incinerator (mesin pembakar sampah suhu tinggi), mesin pencacah/ pemecah sampah organik dan non organik, dan solusi -solusi lain yang milyaran harganya.

Rabu, 05 Juni 2019

Berawal dari 1 orang, bisa.


Bendungan sampah





Mayat Zamhari terjebak dibawah situ. Aku ingat betul kejadian naas yang menimpa remaja yang dulu aku khitan itu. Lama dicari oleh tim SAR BPBD, akhirnya ditemukan juga. Dia berenang ke dalam dan tersekap dalam pusaran air di sudut pintu air. Itu hanya salah satu kisah tragis yang mewarnai sejarah waktu berjalan di bendungan Ekoproyo, Pesayangan Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. 

Kisah lama yang tak kalah indahnya sudah tinggal kenangan. Disitu tempatku bermain saat aku SD. Bendungan yang bersih dari sampah, tempat warga desa berkumpul dan bertamasya ala kadarnya. Hiburan keluarga yang ekonomis. Sekedar mendengar desisan air menggelinding halus di atas bendungan. Sejak kecil aku sering dibawa kesini sama Ibu Bapak. 

Aku juga ingat saat menguji keberanianku berjalan diantara bebatuan di bawah bendungan. Berjalan memanjat lereng bendungan kala air surut. Berjalan di atas balok-balok semen menyeberangi sungai. Pernah juga pulang mandi dari terusan kaligung sebelah utara bendungan, sesampai di rumah kepalaku disambut sabetan ujung sapu oleh ibu. Aku menangis menderu, ibuku tak mau kehilanganku dengan membiarkan anaknya berenang di sungai yang penuh resiko.

Kini pemandangan di bendungan telah berubah. Tebing bendungan sisi timur yang sebagian hancur bertubi-tubi dihempas derasnya aliran sungai. Demikian juga dengan sebagian balok-balok semen dibawah bendungan yang dulu aku seberangi. Dan yang paling miris, adalah permasalahan sampah.

Kini tidak hanya air saja yang terbendung. Namun juga sampah yang menumpuk tertahan di pintu air. Mulai dari bungkusan plastik kresek yang tak tahu apa isinya, didominasi berbagai jenis plastik lainnya, sampai dengan sampah berupa bantal, dan bahkan aku  kadang melihat kasur yang diikat sedemikian besarnya. Tak habis pikir, apa sebenarnya yang ada dalam pikiran orang yang membuangnya.

Di ujung timur jembatan pun terlihat sampah-sampah yang dibuang warga berserakan di atas rumput. Mungkin yang membuang berkata "Ah, biar saja Tuhan yang akan mengurusnya, melalui tangan manusia, maupun bakteri pembusuk." Faktanya? Ini plastik, Bung! butuh ratusan tahun terurai. Bahkan sampai jasadmu hancur menjadi tanah pun, sampahmu bisa saja masih utuh!

Visi "Tegal Bebas sampah 2025" bukan hanya canangan Bupati Tegal pribadi saja, yang dirumuskan bersama dengan berbagai OPD dan lintas sektor terkait. Ini visi kita bersama, semua warga Kabupaten Tegal. Maka tidak bisa kita hanya diam dan menunggu, melihat apa saja yang akan dilakukan Bupati kita itu. Lebih buruk lagi pesimis dengan tidak mendukung programnya. Bukan demikian menjadi warga yang baik.

Aku pernah melihat potret  dari sebuah halaman buku. Disitu menanyakan, "Seandainya kamu telah meninggal, dan kini adalah kesempatan terakhir, untuk dihidupkan kembali dalam hidup yang kedua, apa sesuatu yang berbeda, yang akan kau lakukan sekarang?" Dan jawaban terbanyak dari pertanyaan itu adalah, "Aku akan mengulang hidup ini sekali lagi dengan bersungguh-sungguh."

Betul sekali! kita tidak pernah benar-benar bersungguh-sungguh. Padahal kita tidak akan diberi kesempatan hidup kedua itu. Maka, satukan tekad. Tegal bebas sampah 2025 bisa, dengan peran aktif segala bidang, segala lini, segala sektor. Semua lapisan masyarakat mempunyai peran dalam hal ini. Dari mulai rumah tangga hingga pemerintah. Sungguh, kita perlu bersungguh-sungguh!

Selasa, 04 Juni 2019

Peran musisi dalam membangun

Kata siapa musisi hanya berekspresi saja, dengan diri yang selamanya egosentris? Hidup dalam dunianya sendiri, dengan sisi sosio-kultural yang buruk? Kata siapa musisi tidak berperan membangun? Banyak kisah yang menginspirasi datang dari musisi di berbagai belahan dunia. Mereka menggunakan kekuatannya, baik lagu, fans mereka, jaringan pertemanan mereka, pengaruh mereka untuk menumbuhkan sesuatu, mengajak berubah, berpikir kritis, dan melakukan sesuatu untuk lebih baik lagi. Tidak sebatas hura-hura belaka. That's the power of musician.

Jika memandang dari sisi personal branding, maka apapun yang dilakukan seseorang itu mencerminkan sisi lain kehidupannya juga, bahkan saling menguatkan. Branding manusia terbentuk tidak hanya dari satu sisi peran saja. Di Tegal, ada seorang drummer -yang tak mau disebut namanya- dia juga mempuyai pondok yayasan anak yatim yang membina sekitar 32 anak. Maka drummer tersebut adalah seorang drummer yang berjiwa sosial. Atau sebaliknya, dia adalah pegiat anak yatim yang mempunyai jika seni. Brand ini akan saling menguatkan, dan sadar atau tidak, disengaja atau tidak, gerak-gerik personalnya akan menyampaikan pesan dari brand itu, meski dalam karyanya dia tidak pernah secara langsung menyuarakan ajakan untuk mengasihi anak yatim. Dan meskipun saat berkecimpung dalam kegiatan anak yatim, dia juga tidak pernah mengajak anak yatim untuk bermusik.

Sama halnya, ketika Erix, vokalis Endank Soekamti, membangun sekolah gratis dengan Does university-nya. Meski dia tidak menyuarakan hal tersebut dalam lagunya pun, dia tetap memiliki kekuatan branding sebagai sebagai musisi yang peduli terhadap pendidikan. Apalagi jika seorang musisi secara langsung menyuarakan misinya dalam karya. Seperti Robi Gede, pentolan band Navicula, yang terang-terangan menyuarakan cintanya terhadap lingkungan dalam lagu-lagunya. Seperti Rage Against The Machine dan band U2 yang meneriakan visi sosial dan kemanusiaannya. Tentunya hal itu akan menjadi sebuah brand yang lebih kuat lagi. Dan seperti yang kita tahu, bahwa brand secara alamiah akan terbantuk dengan sendirinya -baik disengaja atau tidak- karena manusia mempunyai persepsi, punya hati. 

Senang sekali tentunya mendengar kabar baik, Yuni Shara sudah 6 tahun mendirikan sekolah PAUD untuk anak-anak yang kurang mampu. Inspiring tidak hanya sesama musisi, namun juga kepada ribuan fansnya!  Banyak juga ibu-ibu yang mengapresiasi saat Syahrini bisa memberikan santunan kepada 6.500 anak yatim tahun lalu. Ini belum lagi gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan musisi kita yang senyap dari pemberitaan media. Baik musisi Nasional maupun musisi lokal.

Musisi memang nyata bisa berbuat, bisa berperan. Meski tidak semua musisi dapat terkoordinir dalam sebuah wadah organisasi, seolah tumbuh sendiri-sendiri.  Musisi dengan keunikan karakternya, dengan pilihan genre-nya, dengan pilihan cara berjuangnya dan pilihan idealismenya baik idealisme musik maupun prinsip hidup, menggambarkan perbedaan layaknya Bhinneka Tunggal Ika. Namun sebagai contoh, saat melihat dimana-mana musisi Tegal bergerak menggalang donasi saat terjadi bencana di Indonesia -terakhir, tsunami Palu dan Donggala- hal ini menyajikan gambaran lain tentang musisi. Ternyata ada kalanya, musisi dapat bersatu berperan dengan mengabaikan semua perbedaan yang ada.

Kekayaan perbedaan musisi layaknya kemajemukan SARA di Indonesia. Jika sudah menyangkut sosial kemasyarakatan, musisi bisa bersatu bergerak. Seperti di Tegal sendiri, pernah terbentuk Komunitas Musisi Tegal dan Jakwir Indie, namun organisasi itu tak bertahan lama. Bagaimanapun, demikianlah memang karakter musisi, dan tak perlu dipaksakan untuk selalu sama, tak wajib pula dikoordinir dalam sebuah organisasi. Yang terpenting, musisi dapat berperan membangun sesuatu, menumbuhkan sesuatu, memberi, bahkan menginspirasi dari apa yang dia lakukan, baik langsung dalam musikalitasnya, maupun melalui sisi lain kehidupannya.


  


Bahasan peran musisi di masyarakat ini, sempat dilontarkan dalam pertemuan kecil semalam (3/6) di Wiji Kopi, Tegal. Tiga band dedengkot Pantura Tegal: R.T.A.G, Ivory dan SeeMs LiKe IdiOt band berkumpul dan membahas rencana konser mereka yang bertajuk YLYV "Yang Lokal Yang Vokal". Acara yang akan digelar Sabtu sore, 15 Juni 2019 di Texin festival itu seperti gagasan yang sangat dirindukan setelah sekian lama tak bersilaturahmi dalam satu panggung. Harapan itu tetap ada, kebersamaan, perjuangan, membangun, bermanfaat untuk masyarakat banyak. Tantangan di depan masih banyak, persoalan sampah di Kabupaten Tegal yang sudah dibilang darurat, angka pengangguran, angka putus sekolah dan berbagai masalah lainnya. Semoga musisi bisa ikut berperan. 

LAUNCHING KABUPATEN TEGAL TERSENYUM, PROGRAM PENANGANAN LIMBAH MINYAK JELANTAH MELALUI SEDEKAH PERTAMA DI JAWA TENGAH

Selasa (23/2/21) Rumah Sosial Kutub berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal telah melaksanakan Launching Tegal Tersenyum di Desa Uju...