Sabtu, 25 Mei 2019

Kober

Ah, selesai sudah rangkaian acara hari ulang tahun taman baca masyarakat Bakti Membaca. Lumayan letih, maklum ramai sekali, 100 orang ada sih, tadi. Masih teringat tumpukan sampah sisa kegiatan acara tadi. "Ini siapa yang akan membuang nanti? banyak banget," ujar Chusnul menanyakan berkardus-kardus sampah sisa acara tadi.

Hasil gambar untuk sampah organik

"Nanti ada petugas sampah RW VII yang biasa ngangkut ke TPS, kak." jawabku.

Ya, urusan sampah membayangiku selama perjalanan pulang ke rumah. Hingga sampai di klinik, aku mencoba sharing dengan dokterku, dr. Suwaspodo. Kebetulan ini jadwalnya praktik. Kutemui dia di ruang tim medis. Pasien sudah agak lengang, tinggal dua orang, jam menunjukkan pukul 20.20 wib. Aku menyalaminya, menanyakan bagaimana buka puasanya.

"Oh iya Pak, Bupati Tegal punya visi Tegal bebas sampah tahun 2025, Pak. Entahlah ini sebuah optimisme bagi kita atau pesimisme. Karena ini tentang perilaku, tidak hanya fasilitas. Menurut Bapak gimana?" ujarku membuka topik obrolan.

"Lha saya kemarin saat ada pengajuan perencanaan pembangunan saya usulkan tentang sampah. Memang penting sekali detik ini," ujarnya.

Pak Was -begitu kami memanggilnya- bercerita bagaimana sampah organik dan non-organik bisa diproses. Masing-masing ada 2 pilihan pengolahannya. Sampah organik bisa menjadi kompos atau budidaya magot (belatung) dari lalat BSF. Sampah non-organik bisa menjadi kerajinan sampah atau masuk ke pihak pengepul rongsok untuk di daur ulang. 

"Cuman ya kudu ada yang kober (sempat) mengkoordinir hal seperti itu. Masalahnya tidak ada yang kober." ujar Pak Was.

Aku lalu menayangkan video dari laptopku, bagaimana sampah di kota Surabaya dikelola. Kami menonton youtube bersama. Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia ini, termasuk salah satu yang terbaik di Indonesia dalam hal pengelolaan sampah. Disana, sampah dari rumah tangga masuk ke tong yang sama, namun sampah organik dikemas dalam bungkus plastik kresek. Kemudian semua sampah rumah tangga itu diangkut. Pendistribusiannya, dari tingkat desa dengan memakai gerobak sampah, hingga menggunakan mobil angkut sampah ke TPS (tempat penampungan sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), semua dikoordinir.

Di Kota Surabaya, ada depo-depo sampah. Disinilah ada pemilahan, organik, non-organik yang bisa didaur ulang dan non-organik yang tidak bisa didaur ulang. Sampah organik akan disalurkan ke rumah kompos di Surabaya. Ada puluhan rumah kompos Surabaya. Rumah kompos menjadikan sampah menjadi pupuk kompos yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan pertanian dan perkebunan. Sampah non-organik lainnya, di daur ulang. 

1200 ton sampah per hari di Surabaya, 20% nya masuk ke rumah-rumah kompos tersebut. Ini salah satu dari tiga proses pengolahan sampah, Reduce, Reuse, Recycle. Perilaku masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi dari awal pengurangan sampah, seperti mengurangi penggunaan plastik. Peran serta masyarakat dalam pemilahan sampah organik non-organik juga sangat membantu.

"Pak Darman, karyawan Puskesmas Suradadi, itu nandur sayuran sawi dirumahnya, hanya memakai tanah di plastik-plastik. Tidak punya kebun. Dia mengolah sampah organiknya dengan sangat sederhana. Sampah organik sisa-sisa makanannya dimasukkan plastik, diikat dan dibiarkan selama 3 bulan, otomatis menjadi kompos. Makanya sawinya tumbuh subuh, buat lauk keluarga." papar Pak Was.

Wow, sederhana sekali. Dan, kompos buatannya itu dimanfaatkan sediri oleh pak Darman. Aku jadi penasaran. Ah, suatu saat aku harus ke rumah Pak Darman untuk melihat bagaimana prosesnya.

"Jadi, sebenarnya dengan cara sederhana saja kita bisa mengolahnya ya, Pak?" tanyaku.

"Ya, cuman siapa yang mau kober ngurusi, untuk tingkat komunitas. Itu saja." jawabnya.

Berat rasanya jika memikirkan bebas sampah untuk tingkat se-Kabupaten Tegal. Namun, sesuatu yang besar diawali dengan yang kecil terlebih dahulu. Pak Was menyarankan tidak usah level desa dulu, bahkan level dusun saja jika perlu. Seandainya itu sukses saja, sudah bisa menjadi percontohan. Nanti biar kekuatan yang lebih besar saja yang akan menduplikasikannya, entah dari orang yang lebih ahli, yang punya cara yang lebih canggih, atau kekuatan organisasi atau Pemda untuk menduplikasikan cara tersebut di seluruh desa di Kabupaten Tegal.

"Butuh keuletan, butuh keterampilan sosial juga untuk mengajak orang merubah perilaku, mengurangi sampah rumah tangga, membuat tim pengelola sampah dusun, butuh juga tanah atau bangunan yang agak luas untuk menampung kompos, dan sistem distribusi sampah yang sesuai perutukannya. Itu saja dulu." pungkasnya.

Benar, tanpa awal yang sederhana itu, tak akan terwujud Tegal bebas sampah 2025. Semoga diberi kekuatan untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAUNCHING KABUPATEN TEGAL TERSENYUM, PROGRAM PENANGANAN LIMBAH MINYAK JELANTAH MELALUI SEDEKAH PERTAMA DI JAWA TENGAH

Selasa (23/2/21) Rumah Sosial Kutub berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal telah melaksanakan Launching Tegal Tersenyum di Desa Uju...