"Tidak usah menyalahkan Dinas Lingkungan Hidup, bertanyalah peran kita apa? Sudahkah berperan untuk ikut mengurusi sampah?" paparku saat sambutan diskusi sore tadi. Ya, sebuah diskusi kecil bersama 14 orang penulis FLP di warung Piko, sebuah warung yang baik hati menyediakan menu buka puasa gratis setiap hari bagi komunitas, selama ramadhan. Tempatnya tepat diatas praktik notaris Ibu Hertanti, SH, MH, Jalan Sultan Agung.
Diskusi itu adalah sesi kedua setelah sebelum maghrib tadi ada sesi materi dari kak Fikri, penulis yang sekaligus dosen Poltek Harber jurusan TI, tentang bagaimana mendapatkan referensi yang bermutu. Alhamdulilllah pertemuan sederhana namun menguatkan visi organisasi ini. Kini, aku memantik jalannya diskusi tentang peran FLP dalam masalah sampah. Penginnya sih bikin acara lomba menulis atau bikin antologi begitu. Paling tidak sekedar meningkatkan awareness masyarakat dulu. Karena bagaimana mungkin perilaku akan berubah jika kita tidak sadar betul akan adanya masalah sampah ini.
Aku melanjutkan "Kita sebagai penulis ya perannya melalui tulisan, semua berperan sesuai fungsinya. Penyelesaian sampah ini bukan urusan DLH semata, ini kudu empowering semua sektor. Malah menurut saya bukan DLH yang pertama dimintai pertanggungjawaban. Justru masyarakatlah yg utama."
Aku memang merasa ini bukan saja tanggung jawab DLH, banyak yang harus bertanggung jawab. Jika melihat tata kelola sampah adalah 3R, Reduce, Reuse dan Recycle, malah masyarakatlah yang harus menjalankannya terlebih dahulu, bukan DLH. Organisasi masyarakat juga jangan diam saja, LSM, organisasi profesi, tokoh masyarakat, pemerintah desa, semuanya bertanggung jawab. Jika kita diam, kita salah. Tak bisa kita salahkan DLH hanya gegara dia yang bertugas distribusi sampah ke TPA. Masalah sampah ini bukan hanya soal distribusi dari rumah tangga ke TPS dan TPA. Sebanyak apapun armada distribusi sampah yang disediakan DLH tak akan menyelesaikan masalah. Karena sampah yang dihasilkan tiap hari semakin banyak, baik dari rumah tangga maupun instansi.
Semua orang bisa ngomong "Itu bukan urusanku, sampah itu urusan pemerintah." Namun menurutku itu tidak fair. Bagaimana mungkin sampah-sampah kita sendiri, namun orang lain yang harus mengurusi? Di desaku saja, sudah ada 2 warga yang bertugas mengambil sampah dari rumah tangga ke TPS menggunakan gerobak becak. Sementara untuk sampah rumah yang di pinggir jalan raya, petugas sampah DLH yang mengambilnya. Ada inventaris 2 buah TOSSA di desa sudah siap namun belum dioperasionalkan. Desa lain pun banyak yang sudah mengusahakan adanya distribusi. Bank sampah juga beberapa ada di desa lain, yang menjadikannya kerajinan dari sampah. Namun jika 3R itu tidak dijalankan secara masif, tetap saja sampah ini akan menggunung.
Lagi-lagi masalah pemberdayaan, dan PR terbesar kali ini adalah tentang perubahan perilaku. Mulai dari menyadarkan masyarakat, kemampuan dan kemauan bertindak.
Diskusi sore itu menghasilkan sebuah pemikiran, nampaknya sasaran utama pergerakan menulis tentang sampah ini adalah remaja. Ya, agen perubahannya adalah anak remaja di tiap rumah tangga itu. Kayaknya bagus juga kalo kita bikin lomba menulis cerpen tentang sampah. Cerpen kan remaja banget. Ah, gagasan bagus dari Kak indah ini terlontar karena sebelumnya dia pernah juga membuat buku tentang lingkungan.
Lalu, kami berpikir keras bagaimana teknis pelaksanaan lomba, anggaran, cetak buku, launching, distribusi, jaringan lain yang harus diajak, dsb. Sampai akhirnya Kak Fikri menjeda obrolan kami, "Mas saya duluan ya, pamit, ini anak-anak udah pada nggak betah." Ah, rupanya aku tak sadar asik diskusi sampai waktu menjelang 'isya. Oke lah, "Bersambung nanti lagi ya, mungkin habis lebaran kita halal bi halal untuk sekalian melanjutkan diskusi ini." ujarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar