Jumat, 31 Mei 2019

Tidak Bau

Sore ini, Jony belum makan sedari siang. Kasihan anak ini. Emang susah makan, giginya memipis, jarang mau gosok gigi. Duh, aku jadi merasa bersalah jadi bapak. "Ayo ikut papa", ajakku ke Jony. 
"Siapa yang mau ikut papa?" tanyaku.






"Jony!!" jawabnya lantang tanpa tahu dulu mau kemana.
"Mau kemana?" pertanyaannya menyusul.

"Mau lihat tempat sampah besar."

"Dimana?" tanya Jony.

"Di dekat Rumah sakit Singkil." Aku memang sudah penasaran belum melihat TPS baru itu setelah TPS di jalan dua area Kebasen resmi ditutup. Kabarnya sih di depan RSI PKU Muhammadiyah, masuk gerbang Desa Pesarean ke utara sedikit, lalu belok kiri.

Aku sengaja ajak Jony sekalian me-nelateni sedikit demi sedikit suapan nasi ayam. Biasanya dia mau makan kalo naik mobil bersama. Sama seperti agenda tiap pagiku, mengantarnya ke tempat penitipan anak. Hampir tiap 200 meter aku berhenti sejenak, menyuapinya. Memang makannya susah, itupun paling hanya seujung sendok makan, sedikit demi sedikit. Yah, sabar. Lagi jadi orang tua, mungkin aku kecil dulu juga begini. Hihi.

Kulaju mobilku, dari gang monas ke selatan. Berhenti depan BRI Talang, membawa Jony ke alam cerita untuk mengalihkan perhatiannya. Sembari memberinya suapan pertama, alhamdulillah, mau makan.

Di tengah perjalanan kembali dia menanyakan "Papa mau lihat sampah?"

"Iya, sama Jony. Kan Jony anak pinter ya, yang akan membantu ngurusi masalah sampah ya." Aku memang sering ajak dia melihat tempat sampah, TPS di perumahan Desa Pacul yang dibatasi tembok permanen. Pernah juga ajak dia melihat tumpukan sampah di Desa Kaladawa, sebelah SMP 3 Talang yang tanpa pembatas tembok. 

Kini saatnya aku mengajaknya ke TPS baru ini yang aku sendiri belum pernah menengoknya. Sebelumnya aku dapatkan ancer-ancer lokasi TPS ini dari Mas Saliman, teman sejawat perawat RSI PKU, yang rumahnya di Desa Pesarean, satu arah jalan dari gerbang Desa Pesarean ke Utara.

Begitu masuk gerbang, kulihat ada motor tossa berwarna hitam, membawa sampah di bak belakangnya, belok ke arah barat. Ah, itu dia! Pasti disitu letaknya. Dan ternyata benar, tanah yang cukup lapang dengan bangunan sederhana, tak beratap, tak berpintu. Bisa diakses langsung dari jalan arah utara maupun selatan. Nampak disitu beberapa tossa sedang berjejer mengantri, membawa sampahnya masing-masing dari desa.

Aku turun dari mobil dan, ada yang aneh! Ini beda sekali dengan TPS-TPS sebelumnya. Kok tidak berbau ya? batinku. Oh.. ternyata, disini sampah tidak dibiarkan menumpuk terlalu lama, langsung dari tossa desa, dipindahkan ke truk DLH. Siap untuk dibawa ke TPA Penujah. Jadi tidak ada sampah yang menggunung disini. Waw. Mantap luar biasa. Salut sama DLH.

Aku dan Jony berkeliling, menyapa beberapa tukang angkut sampah yang sedang beristirahat di tepian bangunan. Salah satunya kukenal wajahnya. "Om, apakabar?" sapaku.

"Oh, halo pak. Kok sampe sini?" tanya dia.

"Iya lagi pengin lihat-lihat. Om masih ngangkut sampah di Desa Pesayangan kan?" tanyaku.

"Sudah tidak, saya memang tinggal di Pesayangan, tapi sekarang ditugasi jadi BM, bongkar muat sampah. Sudah tidak keliling dari rumah ke rumah lagi." jawabnya.

Oh, naik level dia. Dia memang dulu sering mondar-mandir di samping klinik monas, dengan gerobak sampah becaknya. Sesekali kuberi uang jajan meski aku tidak memakai jasanya untuk mendistribusikan sampah rumahku. Kasihan aja sehari-hari bergelut dengan sampah di depan mukanya persis. Gayanya masih khas, ikat kepala dan topi koboi.

"Om, Desaku Talang juga membuangnya kesini?"

"Ya, banyak yang kesini, termasuk Desa Talang juga kesini, Pak," ujarnya.

Nampak pria bertatto bertelanjang dada dengan sisir garu sampah, di atas bak truck sampak DLH sedang membongkar muatan sampah dari sebuah tossa masuk ke bak. Badannya basah kuyup berkeringat. Terlihat dua truck DLH sedanng stand bye. Udara yang tak berbau membuatku betah, tak ingin cepat pergi dari situ. Jony pun berkeliling melihat-lihat kondisi sekitar, tak jauh dariku. 

Hm, aku perhatikan, pemisahan sampah organik dan non-oganik memang belum dilakukan dari level rumah tangga. Jadi semua sampah yang kesini, campur aduk. Katanya sih, akan ada pemisahan nanti di TPA Penujah sana. 

Hm, kapan-kapan deh kuagendakan ke Penujah. Telah kurasa cukup waktu aku di TPS Pesarean ini. Aku berpamit pulang pada beberapa pekerja sampah, kubawa Jony masuk mobil. Kuberi Jony suapan nasi dan ayam lunak lagi.

Masih mengganjal satu pertanyaan yang belum tuntas kupelajari. Yakni, bagaimana cara pembuatan kompos sederhana yang hasilnya layak jual ya? Begitu aku men-starter mobilku, tiba-tiba teringat. Astaghfirulloh, ketua karang tarunaku sendiri kan sarjana pertanian. Kak edy! Ah, Yes! ini seperti mestakung. Semesta mendukung. Aku melaju mobilku pulang, sambil berdoa dalam hati, semoga niat dan langkah ini selalu didukung Tuhan semesta alam. Semakin optimis, Tegal bebas sampah.

Kamis, 30 Mei 2019

The tipping point


Epidemi gagasan, mendadak, meledak meluas. Sama seperti epidemic penyakit, sebuah ledakan kasus seperti influenza yang sangat cepat menular, mewabah. Setidaknya epidemi penyakit mempunyai konsep yang sama dengan epidemi trend, gagasan, ide, gaya hidup, respon, sikap. Bagaimana Ridwan Kamil mem-booming-kan sholat subuh berjamaah, bukan semata karena dia seorang walikota sehingga mau tidak mau bawahannya ikut mendukung programnya. Tidak. Banyak sekali program kepala daerah yang gagal total. Berakhir dengan seremonial saja. Bahkan mereka pusing setengah mati bagaimana cara melakukan perubahan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi fenomena epidemi dalam sosial. Pengaruh sang innovator seperti pimpinan ada, namun tidak mutlak mempengaruhi keberhasilan. Dia hanya salah satunya.

Gambar terkait

Seandainya kita tahu pola epidemi sosial itu, kita bisa menggunakannya untuk gagasan positif kita. Seperti membudayakan membaca, berhenti merokok, membuang sampah dan menumbuhkan nasionalisme, disiplin kerja, dsb. Dulu wanita muslimah yang tidak berjilbab, nyaman-nyaman saja bekerja di kantor pemerintah. Kini, mereka malu, jika tidak berjilbab. Bagaimana trend ini bisa berubah dengan seketika dengan begitu meluas, diikuti trend berhijab modern yang semakin diterima di masyarakat musllimah? Tren busana ini sama dengan dengan tren rambut pria, pomade, brewok dsb. Demikian juga dengan dunia trend music yang tiba-tiba bisa mencapai titik popularitas tertentu alias “The tipping point”.

Bagaimana sebuah gagasan Risma, walikota Surabaya, diterima dan didukung warganya untuk kembali dari perantauan, hingga dia dapat mencegah Urbanisasi? Dan merubah persepsi orang bahwa untuk bekerja, bahkan menjadi orang kaya, tidak perlu ke Jakarta, di Surabaya pun bisa. Bagaimana Nabi Muhammad menjadi orang paling berpengaruh di dunia dengan Islam yang mendunia. Bagaimana sebuah warung makan baru bisa tenar dalam waktu singkat, sedangkan warung makan lain yang lebih enak tak pernah pembelinya melebihi separuh kursinya. Bagaimana fenomena getok tular terjadi dan menjadi sebuah trend social yang tidak bisa ditolak? Sebuah gagasan yang digugu dan ditiru. Ini nampaknya penting sekali untuk diketahui oleh para penumbuh untuk bisa menumbuhkan sesuatu. Terlebih membangun sebuah budaya, instansi, dan daerah.

Jangan kira semua yang kita pakai, trend, sikap, gaya hidup kita adalah murni kendali dari dalam diri kita? Tidak. Faktanya, manusia adalah makhluk yang sifatnya serba mendadak dan mudah meledak. Mudah dipengaruhi lingkungannya seperti fenomena menguap saat terkantuk. Faktanya manusia bisa berubah seketika, bahkan permanen. Seperti pada orang-orang yang sukses berhenti merokok seketika. Dan jangan kira solusi dari sebuah masalah besar adalah sesuatu yang pasti rumit pula. Faktanya, banyak perubahan besar terjadi berkat konten pengubah yang sangat sederhana. Keburukan bisa cepat menular, kebaikan pun bisa punya potensi yang sama.

Buku “Tipping point”, karya Malcolm Gladwell ini menjawabnya. Bagaimana hal kecil bisa membuat perubahan besar. Membuat percaya diri meski kita bukan siapa-siapa. Membuat pembacanya bertenaga meski dengan sumber daya seadanya. Membuat kita mampu bermimpi melakukan perubahan besar meski kita hanya sebatas rakyat biasa. Maka optimisme gayung bersambut menuju perubahan besar yang kita inginkan seperti Tegal bebas sampah tahun 2025, dsb.

Baca dan pinjam buku ini gratis di taman baca Bakti Membaca. Balai warga RW VII Kelurahan Kraton Kota Tegal. Buka setiap hari Minggu jam 09.00 sampai dengan 16.00 wib. Info lengkap di www.BaktiMembaca.blogspot.com

Menulis sampah

"Tidak usah menyalahkan Dinas Lingkungan Hidup, bertanyalah peran kita apa? Sudahkah berperan untuk ikut mengurusi sampah?" paparku saat sambutan diskusi sore tadi. Ya, sebuah diskusi kecil bersama 14 orang penulis FLP di warung Piko, sebuah warung yang baik hati menyediakan menu buka puasa gratis setiap hari bagi komunitas, selama ramadhan. Tempatnya tepat diatas praktik notaris Ibu Hertanti, SH, MH, Jalan Sultan Agung.

 

Diskusi itu adalah sesi kedua setelah sebelum maghrib tadi ada sesi materi dari kak Fikri, penulis yang sekaligus dosen Poltek Harber jurusan TI, tentang bagaimana mendapatkan referensi yang bermutu. Alhamdulilllah pertemuan sederhana namun menguatkan visi organisasi ini. Kini, aku memantik jalannya diskusi tentang peran FLP dalam masalah sampah. Penginnya sih bikin acara lomba menulis atau bikin antologi begitu. Paling tidak sekedar meningkatkan awareness masyarakat dulu. Karena bagaimana mungkin perilaku akan berubah jika kita tidak sadar betul akan adanya masalah sampah ini.

Aku melanjutkan "Kita sebagai penulis ya perannya melalui tulisan, semua berperan sesuai fungsinya. Penyelesaian sampah ini bukan urusan DLH semata, ini kudu empowering semua sektor. Malah menurut saya bukan DLH yang pertama dimintai pertanggungjawaban. Justru masyarakatlah yg utama." 

Aku memang merasa ini bukan saja tanggung jawab DLH, banyak yang harus bertanggung jawab. Jika melihat tata kelola sampah adalah 3R, Reduce, Reuse dan Recycle, malah masyarakatlah yang harus menjalankannya terlebih dahulu, bukan DLH. Organisasi masyarakat juga jangan diam saja, LSM, organisasi profesi, tokoh masyarakat, pemerintah desa, semuanya bertanggung jawab. Jika kita diam, kita salah. Tak bisa kita salahkan DLH hanya gegara dia yang bertugas distribusi sampah ke TPA. Masalah sampah ini bukan hanya soal distribusi dari rumah tangga ke TPS dan TPA. Sebanyak apapun armada distribusi sampah yang disediakan DLH tak akan menyelesaikan masalah. Karena sampah yang dihasilkan tiap hari semakin banyak, baik dari rumah tangga maupun instansi.

Semua orang bisa ngomong "Itu bukan urusanku, sampah itu urusan pemerintah." Namun menurutku itu tidak fair. Bagaimana mungkin sampah-sampah kita sendiri, namun orang lain yang harus mengurusi? Di desaku saja, sudah ada 2 warga yang bertugas mengambil sampah dari rumah tangga ke TPS menggunakan gerobak becak. Sementara untuk sampah rumah yang di pinggir jalan raya, petugas sampah DLH yang mengambilnya. Ada inventaris 2 buah TOSSA di desa sudah siap namun belum dioperasionalkan. Desa lain pun banyak yang sudah mengusahakan adanya distribusi. Bank sampah juga beberapa ada di desa lain, yang menjadikannya kerajinan dari sampah. Namun jika 3R itu tidak dijalankan secara masif, tetap saja sampah ini akan menggunung.

Lagi-lagi masalah pemberdayaan, dan PR terbesar kali ini adalah tentang perubahan perilaku. Mulai dari menyadarkan masyarakat, kemampuan dan kemauan bertindak. 

Diskusi sore itu menghasilkan sebuah pemikiran, nampaknya sasaran utama pergerakan menulis tentang sampah ini adalah remaja. Ya, agen perubahannya adalah anak remaja di tiap rumah tangga itu. Kayaknya bagus juga kalo kita bikin lomba menulis cerpen tentang sampah. Cerpen kan remaja banget. Ah, gagasan bagus dari Kak indah ini terlontar karena sebelumnya dia pernah juga membuat buku tentang lingkungan.

Lalu, kami berpikir keras bagaimana teknis pelaksanaan lomba, anggaran, cetak buku, launching, distribusi, jaringan lain yang harus diajak, dsb. Sampai akhirnya Kak Fikri menjeda obrolan kami, "Mas saya duluan ya, pamit, ini anak-anak udah pada nggak betah." Ah, rupanya aku tak sadar asik diskusi sampai waktu menjelang 'isya. Oke lah, "Bersambung nanti lagi ya, mungkin habis lebaran kita halal bi halal untuk sekalian melanjutkan diskusi ini." ujarku.

Sabtu, 25 Mei 2019

Kober

Ah, selesai sudah rangkaian acara hari ulang tahun taman baca masyarakat Bakti Membaca. Lumayan letih, maklum ramai sekali, 100 orang ada sih, tadi. Masih teringat tumpukan sampah sisa kegiatan acara tadi. "Ini siapa yang akan membuang nanti? banyak banget," ujar Chusnul menanyakan berkardus-kardus sampah sisa acara tadi.

Hasil gambar untuk sampah organik

"Nanti ada petugas sampah RW VII yang biasa ngangkut ke TPS, kak." jawabku.

Ya, urusan sampah membayangiku selama perjalanan pulang ke rumah. Hingga sampai di klinik, aku mencoba sharing dengan dokterku, dr. Suwaspodo. Kebetulan ini jadwalnya praktik. Kutemui dia di ruang tim medis. Pasien sudah agak lengang, tinggal dua orang, jam menunjukkan pukul 20.20 wib. Aku menyalaminya, menanyakan bagaimana buka puasanya.

"Oh iya Pak, Bupati Tegal punya visi Tegal bebas sampah tahun 2025, Pak. Entahlah ini sebuah optimisme bagi kita atau pesimisme. Karena ini tentang perilaku, tidak hanya fasilitas. Menurut Bapak gimana?" ujarku membuka topik obrolan.

"Lha saya kemarin saat ada pengajuan perencanaan pembangunan saya usulkan tentang sampah. Memang penting sekali detik ini," ujarnya.

Pak Was -begitu kami memanggilnya- bercerita bagaimana sampah organik dan non-organik bisa diproses. Masing-masing ada 2 pilihan pengolahannya. Sampah organik bisa menjadi kompos atau budidaya magot (belatung) dari lalat BSF. Sampah non-organik bisa menjadi kerajinan sampah atau masuk ke pihak pengepul rongsok untuk di daur ulang. 

"Cuman ya kudu ada yang kober (sempat) mengkoordinir hal seperti itu. Masalahnya tidak ada yang kober." ujar Pak Was.

Aku lalu menayangkan video dari laptopku, bagaimana sampah di kota Surabaya dikelola. Kami menonton youtube bersama. Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia ini, termasuk salah satu yang terbaik di Indonesia dalam hal pengelolaan sampah. Disana, sampah dari rumah tangga masuk ke tong yang sama, namun sampah organik dikemas dalam bungkus plastik kresek. Kemudian semua sampah rumah tangga itu diangkut. Pendistribusiannya, dari tingkat desa dengan memakai gerobak sampah, hingga menggunakan mobil angkut sampah ke TPS (tempat penampungan sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), semua dikoordinir.

Di Kota Surabaya, ada depo-depo sampah. Disinilah ada pemilahan, organik, non-organik yang bisa didaur ulang dan non-organik yang tidak bisa didaur ulang. Sampah organik akan disalurkan ke rumah kompos di Surabaya. Ada puluhan rumah kompos Surabaya. Rumah kompos menjadikan sampah menjadi pupuk kompos yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan pertanian dan perkebunan. Sampah non-organik lainnya, di daur ulang. 

1200 ton sampah per hari di Surabaya, 20% nya masuk ke rumah-rumah kompos tersebut. Ini salah satu dari tiga proses pengolahan sampah, Reduce, Reuse, Recycle. Perilaku masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi dari awal pengurangan sampah, seperti mengurangi penggunaan plastik. Peran serta masyarakat dalam pemilahan sampah organik non-organik juga sangat membantu.

"Pak Darman, karyawan Puskesmas Suradadi, itu nandur sayuran sawi dirumahnya, hanya memakai tanah di plastik-plastik. Tidak punya kebun. Dia mengolah sampah organiknya dengan sangat sederhana. Sampah organik sisa-sisa makanannya dimasukkan plastik, diikat dan dibiarkan selama 3 bulan, otomatis menjadi kompos. Makanya sawinya tumbuh subuh, buat lauk keluarga." papar Pak Was.

Wow, sederhana sekali. Dan, kompos buatannya itu dimanfaatkan sediri oleh pak Darman. Aku jadi penasaran. Ah, suatu saat aku harus ke rumah Pak Darman untuk melihat bagaimana prosesnya.

"Jadi, sebenarnya dengan cara sederhana saja kita bisa mengolahnya ya, Pak?" tanyaku.

"Ya, cuman siapa yang mau kober ngurusi, untuk tingkat komunitas. Itu saja." jawabnya.

Berat rasanya jika memikirkan bebas sampah untuk tingkat se-Kabupaten Tegal. Namun, sesuatu yang besar diawali dengan yang kecil terlebih dahulu. Pak Was menyarankan tidak usah level desa dulu, bahkan level dusun saja jika perlu. Seandainya itu sukses saja, sudah bisa menjadi percontohan. Nanti biar kekuatan yang lebih besar saja yang akan menduplikasikannya, entah dari orang yang lebih ahli, yang punya cara yang lebih canggih, atau kekuatan organisasi atau Pemda untuk menduplikasikan cara tersebut di seluruh desa di Kabupaten Tegal.

"Butuh keuletan, butuh keterampilan sosial juga untuk mengajak orang merubah perilaku, mengurangi sampah rumah tangga, membuat tim pengelola sampah dusun, butuh juga tanah atau bangunan yang agak luas untuk menampung kompos, dan sistem distribusi sampah yang sesuai perutukannya. Itu saja dulu." pungkasnya.

Benar, tanpa awal yang sederhana itu, tak akan terwujud Tegal bebas sampah 2025. Semoga diberi kekuatan untuk itu.

Minggu, 12 Mei 2019

Ini 5 Negara Pendaur Ulang Sampah Terbaik di Dunia


KOMPAS.com - Jerman memiliki tingkat daur ulang terbaik di dunia. Sedangkan Austria menempati posisi kedua, diikuti oleh Korea Selatan dan Wales. Keempat negara tersebut berhasil mendaur ulang antara 52 persen hingga 56 persen dari total sampah kota mereka. Swiss, di tempat kelima, mendaur ulang hampir setengah dari sampah kotanya. 

Menurut Eunomia, konsultan lingkungan yang menyusun laporan, negara-negara ini semuanya memiliki kebijakan pemerintah yang mendorong daur ulang. Kebijakan ini antara lain memudahkan rumah tangga untuk mendaur ulang limbah; pendanaan yang baik untuk daur ulang, dan insentif keuangan. Mereka juga menetapkan target kinerja yang jelas dan tujuan kebijakan untuk pemerintah daerah. Beberapa negara, seperti Wales, memiliki target daur ulang yang ambisius. Negara ini menargetkan nol limbah pada tahun 2050. 

Ilustrasi sampah plastik

Sementara Uni Eropa mengadopsi target baru untuk 2030, setidaknya mengurangi 65 persen. "Sangat penting untuk dicatat bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi negara mana yang paling baik dalam daur ulang. Tujuannya, untuk berbagi praktik terbaik dengan menyoroti apa yang negara tersebut lakukan," ujar penulis dan konsultan pelaksana di Eunoomia, Rob Gillies. 

Laporan itu juga mencoba membandingkan tingkat daur ulang limbah kota pada dasar yang semaksimal mungkin. Gillies juga berharap, laporan tersebut membantu kemajuan perdebatan tentang cara terbaik untuk mengukur daur ulang nyata. Pengukuran tersebut diharapkan sejalan dengan prinsip-prinsip hierarki limbah, dengan cara yang sekonsisten mungkin di Eropa atau lebih jauh lagi. 

Apa yang terjadi pada limbah daur ulang? Sejumlah besar sampah yang telah didaur ulang akhirnya dikirim ke Asia. Tetapi China, importir dan pendaur ulang terbesar dari logam bekas, plastik dan kertas, telah memutuskan untuk tidak lagi mengambil apa yang disebut "sampah asing". Negara ini bahkan melarang impor 24 jenis limbah. Hal tersebut setidaknya memaksa negara-negara industri untuk mendaur ulang lebih banyak limbah mereka sendiri. Saat ini, 

Eropa mendaur ulang 30 persen dari plastiknya, lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat yang hanya 9 persen. Meski demikian, sebagian besar sampah plastik masih terbuang di tempat pembuangan sampah dan di laut.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini 5 Negara Pendaur Ulang Sampah Terbaik di Dunia", https://properti.kompas.com/read/2018/05/17/220000221/ini-5-negara-pendaur-ulang-sampah-terbaik-di-dunia
Penulis : Arimbi Ramadhiani
Editor : Hilda B Alexander

Sumber: https://properti.kompas.com/read/2018/05/17/220000221/ini-5-negara-pendaur-ulang-sampah-terbaik-di-dunia

Ini Dia Negara Dengan Inovasi Pengolahan Sampah Terbaik

MALANGTIMES - Sampah yang masih menjadi permasalahan tidak hanya di Indonesia namun juga permasalahan dunia. Dibutuhkan perhatian dan program khusus untuk menyelesaikan problem sampah dari berbagai kalangan. Negara dengan jumlah penduduk yang banyak secara otomatis turut menyumbang produksi sampah yang banyak pula.
Namun bagi negara-negara tertentu, pengolahan sampah sudah sampai pada pengembangan inovasi-inovasi yang patut untuk dicontoh. Berikut negara-negara dengan inovasi pengolahan sampah terbaik di dunia.
Jepang
Jepang memiliki system penyortiran sampah yang sangat rumit. Namun hal tersebut justru cukup membantu dalam pengolahan sampat tersebut. Di sana diberlakukan pemisahan sampah mulai dari plastik pembungkus hingga tutup botol jika ingin membuang sampah. Kesemuanya dibuang secara terpisah.
Tidak hanya itu, saat Anda datang ke restoran fast food, kamu juga diharuskan untuk membersihkan makananmu sendiri dengan membagi-bagi kertas, tempat minum, tutup tempat minum dan sedotan di tempat-tempat terpisah.
Estonia
Negara ini dikenal sebagai negara yang cukup memiliki nama di bidang pengelolaan sampah. Bagaimana tidak? Dengan jumlah sampah yang jauh lebih sedikit dari Jerman, negara ini mampu mengelola 40% lebih dari limbah dengan baik. Estonia juga dipuja sebagai negara yang bisa membuat sampah menjadi energi yang menjadi negara percontohan bagi negara-negara lainnya.
Swedia
Swedia dinyatakan sebagai satu-satunya negara penginmpor sampah di dunia. Negara ini bahkan sempat disebut sebagai negara kekurangan sampah. Dari 38 persen sampah yang tidak bisa didaur ulang di eropa, Swedia berhasil menyusutkannya hingga 1 persen saja. Sampah-sampah ini dimanfaatkan oleh Swedia dengan diolah menjadi bahan bakar.
Jerman
Meski sampah yang dibuang di negara ini tidak bisa dikatakan sedikit bila dibandingkan dengan negara Eropa lainnya, namun Jerman mengelola lebih dari 65% limbah mereka dengan sempurna. Negara yang juga dikenal karena kehebatan bermain sepak bolanya ini pun memiliki pengaturan sampah yang hampir sama ribet-nya dengan Jepang. Meski tidak seheboh Jepang yang bahkan memiliki buku tebal untuk aturan pembuangan sampah, Jerman setidaknya memiliki 10 jenis tempat sampah yang tersebar di seluruh penjuru negara
Belanda
Pada abad ke 17 hingga 19 Belanda dikenal karena tingginya produksi sampah di sana. Selain itu, jumlah sampah yang cukup tinggi juga tidak dikelola hingga membuat masyarakatnya banyak yang terserang penyakit. Akibat tragedi tersebut saat ini, Belanda sudah menerapkan sistem pembakaran sampah yang cukup modern sehingga pembakaran tersebut bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.
Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan konsentrasi lebih terhadap pengolahan limbah sampah yang banyak. Salah satunya Kota Malang yang sempat meraih Top 25 Inovasi Pelayanan Publik 2015 di bidang pengelolaan sampah oleh Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Pemerintah terus mendorong masyarakat untuk mengolah sampah menjadi barang bernilai ekonomi. Seperti bahan pembuatan pupuk kompos, briket arang sampah, makanan ternak, dan bahan daur ulang. Selain itu melalui Kepala Dinas lingkungan Hidup Kota Malang Agoes Edy Poetranto pihaknya tengah berencana memanfaatkan sampah untuk pembuatan bahan bakar. Namun saat ini pihaknya masih mengalami beberapa kendala.

Surabaya, Kota Percontohan Pengolahan Sampah Terbaik Indonesia

Surabaya menjadi salah satu kota di Indonesia yang dinilai mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Tidak hanya itu, Program 3R dinilai telah menjadi landasan upaya pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat, dalam rangka mengurangi sampah dan mengambil nilai ekonomis dari sampah.
Hal ini menjadikan Surabaya salah satu contoh kota yang masyarakatnya berhasil mengelola sampah, sehingga menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik. Melalui sejumlah keberhasilan di bidang kebersihan yang berhasil diraih, Surabaya menjadi tuan rumah Forum Regional 3R atau The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific bertema Multilayer Partnership & Coalitions as the Basic for 3R’s Promotion in Asia & The Pacific, yang digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Selasa (26/2).

Sampah organik yang diolah menjadi pupuk organik. Foto: Petrus Riski
Sampah organik yang diolah menjadi pupuk organik. Foto: Petrus Riski

Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya saat pembukaan mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup saat ini sedang intensif mendorong pemimpin kota-kota di Indonesia, untuk mau mengelola sampah di kotanya dengan cara 3R, karena sejauh ini penerapan secara keseluruhan di Indonesia baru sekitar 7%. Artinya selama ini banyak kota yang mengelola sampah dengan cara lama, yakni dengan menimbun sampah di dalam tanah.
“Untuk tingkat nasional, baru sebesar 7%. Ini kita dorong supaya bisa mengeloa sampah dengan 3 R. Tetapi untuk beberapa kota seperti Surabaya, Malang dan Jombang sudah di atas itu. Surabaya one step ahead (selangkah di depan) dan menjadi role model bagi kota-kota lain. Makanya, acara ini kita gelar di Surabaya,” kata Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup.

Rumah Kompos Keputran, salah satu pusat pengolahan sampah di Surabaya. Foto: Petrus Riski
Rumah Kompos Keputran, salah satu pusat pengolahan sampah di Surabaya. Foto: Petrus Riski

Acara pembukaan The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific dihadiri 300 peserta dari 38 negara-negara di Asia Pasifik, antara lain Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Shinji Inoue, serta Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
Gerakan Indonesia Peduli Sampah menuju masyarakat berbudaya 3R (reduce, reuse, recycle) untuk kesejahteraan masyarakat, dideklarasikan di Surabaya dan dihadiri 30 Walikota/ Bupati se-Indonesia, yang memiliki komitmen besar untuk mewujudkan Indonesia bersih dari sampah pada 2020 mendatang.
Deklarasi ini kata Balthasar Kambuaya merupakan hal yang sangat penting, karena menyatukan komitmen para pemimpin untuk mewujudkan Indonesia bebas dari sampah.
“Sampah di kota-kota besar baru bisa dikelola di bawah 50 persen. Selebihnya tidak diurus. Ada yang dibuang di pinggir jalan atau ada juga di sungai. Penyelesaian sampah membutuhkan leadership yang kuat. Anda harus menjadi role model untuk memimpin masyarakat,” kata Balthazar Kambuaya.

Taman Prestasi, salah satu ruang terbuka hijau di Surabaya yang bersih di setiap sudutnya. Foto: Petrus Riski
Taman Prestasi, salah satu ruang terbuka hijau di Surabaya yang bersih di setiap sudutnya. Foto: Petrus Riski

Diungkapkan oleh Balthasar Kambuaya, Kota Surabaya merupakan salah satu contoh kota yang berhasil mengelola sampah. Indikator sukses dalam hal pengelolaan sampah berupa adanya bank sampah serta rumah kompos, sehingga sampah tidak lagi menjadi barang yang tidak berguna, melainkan justru bernilai uang.
“Surabaya punya pengalaman dalam investasi sampah. Termasuk melakukan kerja sama dengan Jepang dalam hal pengolahan sampah,” ujar Balthasar Kambuaya, yang merupakan mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Imam Santoso Ernawi mengatakan, pihaknya akan melakukan pembelajaran komunitas 3 R, terutama untuk kategori reduceatau pengurangan sampah.
“Reduce ini merupakan titik kritis. Kalau kita bisa mengurangi sampah sebanyak-banyaknya dari sumbernya, maka beban pengelolaan sampah publik juga akan berkurang,” ungkap Imam Santoso Ernawi.
Sementara itu Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan, diperlukan anggaran yang cukup besar untuk biaya angkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang itu dapat ditekan bila sampah dapat ditekan mulai dari sumbernya.
“Kalau dilihat dari pengelolaan sampah, sebetulnya justru yang paling besar itu adalah untuk biaya angkut. Biaya angkutan itu sampai 50 persen, karena itu kalau konsep kita, bisa menyelesaikan sampah itu di sumbernya, maka biaya angkut itu akan bisa kita potong,” tandas Risma, Walikota perempuan pertama di Surabaya.
Kunci sukses keberhasilan pengolahan sampah lanjut Risma juga terletak pada peran serta aktif masyarakat beserta seluruh elemen yang ada. Keterlibatan semua pihak dalam upaya mengurangi sampah, menjadikan program 3 R dapat berjalan dengan baik.
”Kata kuncinya adalah partisipasi dari masyarakat, artinya bukan masyarakat saja, termasuk media juga. Karena itu dampaknya kan global warming. Taruhlah kita mengelola lingkungan bagus, tapi kalau negara lain, atau tetangga kita enggak, ya sama saja. Kalau kita mengolah baik, kalau samping-sampingnya enggak ya gak ada gunanya, kuncinya bagaimana kita mendekati masyarakat, itu yang paling penting,” Risma menjabarkan kepada Mongabay-Indonesia.
Selain masyarakat, gerakan pengurangan sampah juga diterapkan di sekolah melalui program Eco School. Risma mengungkapkan, edukasi kepada anak-anak usia sekolah menjadi salah satu langkah penting menanamkan budaya 3 R di masyarakat, sehingga masyarakat semakin banyak yang sadar akan pentingnya mengurangi sampah pribadi, karena hingga kini sampah rumah tangga merupakan penyumbang terbesar sampah perkotaan.
“Di sekolah itu anak-anak bukan hanya mengenal lingkungan, tapi mereka juga mempraktekkannya, contohnya misalkan, kalau sekolah-sekolah yang sudah ikut program eco school, maka mereka selalu bawa piring dan gelas, jadi tidak ada lagi plastik makanan, sekarang mereka gak gunakan, bahkan mereka pantang menggunakan sedotan,” lanjut Tri Rismaharini yang banyak meraih penghargaan dibidang kebersihan dan lingkungan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Taman Ekspresi di Jalan Genteng Kali, Surabaya. Foto: Petrus Riski
Taman Ekspresi di Jalan Genteng Kali, Surabaya. Foto: Petrus Riski

Menurut Risma, kepedulian warga terhadap pengelolaan lingkungan berjalan selaras dengan upaya Pemerintah Kota Surabaya, untuk mewujudkan Kota Pahlawan menjadi kota yang hijau, sejuk dan asri. Hingga kini Surabaya telah memiliki luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 26 persen dari keseluruhan luas wilayah Kota Surabaya. Angka terus naik dari tahun-tahun sebelumnya yang masih sebesar 9 persen dan 12 persen.
Di dalam Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mensyaratkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
“Kita inginnya RTH bisa di atas 30 persen sehingga Surabaya bisa lebih sejuk. Selain pembuatan taman, RTH juga bisa berupa pembuatan waduk. Tahun ini sedang kita usahakan,” tutur Risma.
Pengolahan sampah mulai dari rumah tangga, tempat pembuangan sementara di kampung-kampung, hingga di tempat-tempat umum menjadi langkah yang efektif untuk mengurangi volume sampah. Tri Rismaharini mengatakan, upaya pengurangan sampah dengan model 3 R oleh masyarakat, telah dilakukan sejak dari rumah sehingga sangat membantu menekan jumlah sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir sampah.
“Bisa dirasakan hampir setiap tahun, rata-rata penurunan sampah ke TPA (tempat pembuangan akhir), jadi saat saya sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, itu 2.300 meter kubik per hari masuk ke TPA. Saat ini posisinya 1.200 meter kubik di TPA. Jadi bisa dilihat penurunan sampah yang masuk ke TPA. Itu kita gunakan rumah kompos, juga di masyarakat, kemudian juga pengolahan TPS (tempat pembuangan sementara),” sambung Risma.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, Pemerintah Kota Surabaya saat ini sedang menggalakkan kampanye penggunaan tas plastik daur ulang. Hal ini karena sampah plastik menjadi sampah yang sulit diurai, dan membutuhkan waktu hingga ratusan tahun agar terurai.
“Kita kampanye untuk tidak memakai tas plastik. Kalau belanja, pakai tas plastik daur ulang,” pungkas Risma seraya menyebut program Green and Clean, serta Merdeka dari Sampah, telah digagas Pemerintah Kota Surabaya untuk menciptakan kampung-kampung bersih dan hijau.

Jumat, 10 Mei 2019

Marjinal "Negri ngeri"


Video clip Marjinal berjudul "Negri Ngeri" ini digarap dengan lokasi shooting di tempat sampah. Sungguh apik dan menggugah.

Jalan Belakang GOR Dipenuhi Sampah

SLAWI – Persoalan sampah di wilayah Kabupaten Tegal masih belum teratasi. Di sejumlah wilayah, sampah membuat lingkungan menjadi kumuh. Bahkan, tumpukan sampah juga mengganggu pengguna jalan karena berserakan di jalan raya.
Kondisi itu terjadi di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di bekalang GOR Trisanja Slawi. Jalan menuju Dukuh Karangjongkeng, Kelurahan Pekambaran itu, setiap hari dipenuhi sampah. Bahkan, bau busuk akibat penimbunan sampah sudah tercium warga di pedukuhan itu. “Warga mengeluhkan bau tak sedap dari TPS di belakang GOR. Padahal, jarak TPS dengan perumahan warga mencapai 50 meter,” kata Anggota DPRD Kabupaten Tegal, Ninik Budiarti usai melakukan kunjungan di TPS belakang GOR Trisanja bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tegal, kemarin.
Politisi muda asal Fraksi Gerindra itu, kerap mendapatkan keluhan dari masyarakat sekitar. Bahkan, dirinya sudah mengecek langsung TPS yang berada di belakang GOR tersebut. Dalam pengecekan itu, sampah menutupi jalan hingga jalan tidak bisa dilewati. Sampah yang berserakan itu, juga menimbulkan bau tak sedap hingga ke Dukuh Karangjongkeng. Selain itu, GOR yang merupakan fasilitas umum untuk kegiatan besar, baik olahraga, kegiatan kedinasan dan kegiatan lainnya, juga akan terganggu dengan bau sampah tersebut. Hal itu akan membuat citra GOR menjadi lokasi kumuh.
“Setelah saya telusuri, ternyata di lokasi itu bukan peruntukannya untuk TPS. Lokasi itu dulunya untuk tempat daur ulang sampah yang dikelola Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan Pakembaran,” terang Anggota Komisi IV itu.
Ninik juga sempat mempertanyakan petugas perihal asal sampah yang dibuang di TPS GOR. Informasi yang diperolehnya, sampah itu berasal dari tiga kecamatan, yakni Slawi, Adiwerna dan Dukuhwaru. Hal itu yang membuat sampah di TPS tersebut membludak setiap harinya. Sementara itu, truk pengangkut sampah tidak setiap hari mengambil sampah di TPS GOR untuk dibuat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Saya kembali mengecek dengan DLH, dan langsung bersama Kepala DLH Kabupaten Tegal Agus Subagyo. Kami minta keluhan masyarakat ditindaklanjuti,” pintanya.
Ditambahkan, selain permintaan untuk pengangkutan sampah TPA minimal dua kali sehari, pihaknya juga meminta agar lokasi tersebut dikembalikan fungsinya menjadi tempat daur ulang sampah. “Kendalanya memang truk sampah yang minim. Kami akan berupaya untuk mengusulkan penambahan truk sampah,” pungkasnya.

DLH Kabupaten Tegal Kewalahan Tangani Sampah


Sampah menumpuk di lapangan Desa Kaladawa dan dikeluhkan warga. (foto: reza abineri)
TEGAL - Sampah menumpuk di Lapangan Desa Kaladawa, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal. Sampah yang didominasi plastik itu, menumpuk hingga ke pinggir jalan. Sementara Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tegal mengaku kewalahan menangani sampah lantaran pengadaan lahan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang belum teratasi.
"Sejak ditutupnya TPS di pinggir Pasar Pepedan, praktis kemudian kita cari lokasi penggantinya," kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah P3, DLH Kabupaten Tegal Syaefudin, Selasa, 4 September 2018.
Dikatakan, pembongkaran TPS itu menjadi kendala karena dirasa terburu-buru. Sehingga untuk mencari lokasi penggantinya menjadi keteteran. "Padahal sekarang jadi tempat jualan juga," terangnya.
Hasilnya, ada 2 TPS pengganti yakni di GOR Trisanja dan di Terminal Dukuhsalam, Kecamatan Slawi. "Alhamdulillah dapat dua tempat itu. Alasannya dipilih karena lahan kosong masih luas," beber Syaefudin.
Kendala lainnya terkait jangkauan personil. Dengan jumlah Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 362 dan 70 Pegawai Negeri Sipil (PNS) praktis, wilayah utara Kabupaten Tegal jarang dirambah. "Personil kita saat ini fokus di wilayah tengah dan selatan. Dari Senin hingga Sabtu kelilingnya. Makanya kemungkinan kita akan tangani Minggu yang termasuk lembur," ucapnya.
Kemudian jumlah armada juga yang terbatas juga jadi kendala lainnya. Dengan 6 armada roda tiga dan 30 armada truk, dianggap masih kurang banyak. "Idealnya jumlah truk ada 60. Kalau roda tiga masih bisa dibantu dari masing-masing desa untuk mengangkut sampah," kata dia.
Syaefudin pun menghimbau kepada masyarakat dan pihak terkait mengurangi produksi sampah plastik. Selain merubah pandangan sampah yang kumuh, masyarakat juga perlu melihat potensi sampah menjadi penghasilan yang menjanjikan.
"Mindset masyarakat kita sudah mulai beralih dari membuang sampah di sungai ke pekarangan. Namun belum banyak yang langsung ke TPS. Kita sarankan jangan terlalu sering gunakan bungkus plastik. Kalaupun iya, bisa didaur ulang karena nilai jualnya menjanjikan," papar dia. (*)

x

Terganggu Longgok Sampah Belakang GOR Trisanja Slawi

Terganggu Longgok Sampah Belakang GOR Trisanja Slawi
Tegal - Warga mengeluhkan belakang Gelanggang Olahraga dan Remaja (GOR) Trisanja Slawi, jalan menuju Dukuh Karangjongkeng, Kelurahan Pekambaran, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah (Jateng), menjadi tempat pembuangan sementara (TPS). Padahal, sebelumnya merupakan lokasi daur ulang.
"Warga mengeluhkan bau tak sedap dari TPS di belakang GOR. Padahal, jarak TPS dengan perumahan warga hanya 50 meter," ujar Anggota DPRD Tegal, Ninik Budiarti, Rabu (14/11).
"Setelah saya telusuri, ternyata di lokasi itu bukan peruntukannya untuk TPS. Lokasi itu, dulunya untuk tempat daur ulang sampah yang dikelola Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan Pakembaran," imbuh Anggota Komisi IV ini.
Selain bau tak sedap, tumpukan sampah juga menutupi jalan hingga sulit dilewati. Dus, masyarakat yang ingin beraktivitas di GOR terganggu.
Informasi yang diperoleh Ninik, sampah berasal dari Kecamatan Slawi, Adiwerna, dan Dukuhwaru. Truk sampah pun tak mengangkut setiap hari. Karenanya, barang bekas tak terpakai membludak.
Untuk itu, politikus Gerindra ini meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tegal mengangkut sampah dua kali sehari. Lokasi juga dikembalikan fungsinya.

Ini Penyebab Warga Pakembaran Tegal Blokir Jalur Menuju TPS Karang Jongkeng

TRIBUNJATENG.COM, SLAWI - Warga Kelurahan Pakembaran, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, memblokir akses jalan menuju tempat pembuangan sampah (TPS) sementara, Senin (6/5/2019).
Pemblokiran akses menuju TPS yang telah berlangsung sejak Minggu (5/5/2019) itu dilakukan para warga sebagai aksi protes.



Pasalnya, TPS yang tepatnya berada di Dukuh Karang Jongkeng, Kelurahan Pakembaran, belakang GOR Trisanja itu sudah bertahun-tahun menampung sampah dari kecamatan lainnya.
Warga RT 01 RW 09 Dukuh Karang Jongkeng, Sunito (55) menuturkan, warga menolak sampah dari kecamatan lain masuk ke TPS seluas 200 meter tersebut karena bukan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).
Selain bukan TPA, warga pun mengeluhkan kian banyaknya sampah yang masuk sehingga menyebabkan bau tak sedap ke pemukiman, utamanya saat hujan turun.
"Biasanya sampah dari Kecamatan Dukuhwaru, Adiwerna, bahkan Talang. Truk pengangkutnya biasa datang malam hari agar tidak dilihat warga. Maka dari itu, kami blokir dua akses jalan menuju TPS ini. Ada akses jalan di utara dan selatan," kata Sunito saat ditemui Tribunjateng.com, Senin (6/5/2019).
Atas dasar itu, warga beserta tokoh agama Pakembaran mendatangi kantor kelurahan untuk meminta solusi permasalahan sampah.
Saat di kantor kelurahan, puluhan warga berdialog dengan Lurah Pakembaran, Puji Suripto bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tegal, Agus Subagyo ihwal solusi ke depan.
"Masalah sampah ini sudah dari 2014. Saat dialog, akhirnya ada titik terang. Dalam waktu dekat, dua akses jalan menuju TPS Karang Jongkeng akan diportal. Sampah dari kecamatan lain dilarang masuk ke TPS ini karena portal nanti akan dijaga warga," ujar tokoh masyarakat setempat, Agus Salim (42) yang juga mantan Ketua RW 02.
Sementara itu, Lurah Pakembaran, Puji Suripto menambahkan, TPS Karang Jongkeng hanya bisa digunakan warga setempat.
Namun, ujar Lurah, sebagian kelurahan dan desa di Kecamatan Slawi bisa membuang sampah di TPS tersebut apabila merujuk pada perjanjian hasil audiensi tadi.
"Yang boleh buang ke TPS ini adalah sebagian warga Desa Kalisapu bagian utara, Desa Trayeman meliputi Perum Palm Asri 1, dan Brigif 4/Dewa Ratna. Selain itu, sebagian warga Desa Pedagangan, Kecamatan Dukuhwaru yang berada di Perum Palm Asri 2 boleh membuang sampah ke TPS itu jika sesuai perjanjian," papar Puji.
Kepala DLH Kabupaten Tegal, Agus Subagyo menjelaskan, akses jalan menuju TPS tersebut hanya akan dibuka selama enam jam, sejak pukul 15.00 hingga pukul 20.00.
Jika di luar jam itu, kata Agus, portal akan ditutup dan dilarang buang sampah bagi para warga, penggerobag, maupun angkutan truk pengangkut.
"Itu pun berlaku bagi truk sampah yang hendak mengangkut sampah dari TPS Karang Jongkeng menuju ke TPA Penujah Kecamatan Kedungbanteng. Hanya dibolehkan mengangkut dan membuang sampah pada jadwal jam tersebut. Nanti, warga akan ditarik retribusi sebesar Rp 3 ribu hingga Rp 5 ribu per bulan," jelas Agus. (Akhtur Gumilang)



Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Ini Penyebab Warga Pakembaran Tegal Blokir Jalur Menuju TPS Karang Jongkeng, http://jateng.tribunnews.com/2019/05/06/ini-penyebab-warga-pakembaran-tegal-blokir-jalur-menuju-tps-karang-jongkeng.
Penulis: Akhtur Gumilang 
Editor: deni setiawan

Kabupaten Tegal Darurat Sampah, Ini Upaya Dinas Lingkungan Hidup



TRIBUNJATENG.COM, SLAWI - Keberadaan sampah di Kabupaten Tegal dinilai sudah darurat.
Hal itu terbukti dari sederatan tumpukan sampah yang berada di sejumlah lokasi seperti di Desa Kebasen Kecamatan Talang dan Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.
Terkait itu, Bupati Tegal Umi Azizah menekankan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tegal untuk merespon cepat semua permasalahan sampah di setiap kecamatan.
Sebab, dia menilai, manajerial penanganan sampah belum tertata maksimal, baik di tingkat desa maupun kecamatan.
“Sehingga harus dibarengi juga dengan kebiasaan masyarakat dan komitmen semua pihak,” kata Umi kepada Tribunjateng.com, usai acara Kabar Bupatiku, di Kantor DLH Kabupaten Tegal, Senin (28/1/2019).
Kepala DLH Kabupaten Tegal Agus Subagyo menuturkan, akan kembali menghitung jumlah tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA) di Kabupaten Tegal.
Hal itu dilakukan agar pengelolaan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA bisa terjadwal baik.
Waktu dan jadwal pengangkutan sampah harus disesuaikan terlebih dahulu dengan jumlah armada truk.
"Tahun ini bertambah menjadi 60 truk pengangkut sampah. Kami harus hitung dan urutkan dahulu jumlah TPS dan TPA. Karena ini berkaitan jadwal pengangkutan sampah," tutur Agus.

Terkait TPS Kebasen, Agus menyampaikan adanya TPS tersebut merupakan tindak lanjut dari pasca penutupan TPS yang ada di Pasar Pepedan.
“Pasca ditutupnya TPS Pasar Pepedan, kami selaku DLH otomatis mencari lokasi pengganti,” ujar Agus.
Setelah berjalan beberapa bulan, Agus banyak menerima keluhan dari warga sekitar Kebasen maupun masyarakat yang melewati jalan tersebut.
Dari banyaknya keluhan warga, tambah Agus, rencananya pada minggu pertama Februari 2019 ini, DLH akan memindahkan sampah-sampah TPS Kebasen ke TPA.
Maka, Agus menghimbau kepada desa-desa yang mempunyai armada pengangkut sampah, untuk tidak selalu membuang sampah ke TPS.
“Jika melihat kondisi TPS sudah penuh, harus ada kesadaran untuk membuangnya ke TPA. Sehingga TPS di kota yang dilalui masyarakat seperti TPS Dukuhsalam tidak menumpuk,” jelasnya.


Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Kabupaten Tegal Darurat Sampah, Ini Upaya Dinas Lingkungan Hidup, http://jateng.tribunnews.com/2019/01/28/kabupaten-tegal-darurat-sampah-ini-upaya-dinas-lingkungan-hidup?page=2.
Penulis: Akhtur Gumilang 
Editor: deni setiawan


LAUNCHING KABUPATEN TEGAL TERSENYUM, PROGRAM PENANGANAN LIMBAH MINYAK JELANTAH MELALUI SEDEKAH PERTAMA DI JAWA TENGAH

Selasa (23/2/21) Rumah Sosial Kutub berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal telah melaksanakan Launching Tegal Tersenyum di Desa Uju...